Virus Mata Lensa

(ki-ka) Konselor Kerjasama dan Kebudayaan Direktur Institut Prancis di Indonesia Marc Piton, Kepala Biro AFP Jakarta Benoit Finck, Editor TransMedia Pustaka Rani Andriani Koswara, Pewarta Foto AFP Adek Berry dan Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DKI Jakarta Hikmat Kurnia, berpose dengan buku Mata Lensa karya Adek Berry, di sela-sela peluncuran buku tersebut di gedung auditorium IFI Thamrin, Jakarta, Rabu (29/11/2017). Buku tersebut merupakan otobiografi Adek Berry selama 20 tahun karirnya sebagai seorang pewarta foto. [Photo : Nickmatulhuda]
Oleh : Nickmatulhuda

Sepanjang Rabu sore (29/11/2017), meski hujan mengguyur Jakarta berkali-kali, acara peluncuran buku Mata Lensa oleh Adek Berry, tergolong sukses. Keluarga, kolega dan teman-teman sang pewarta foto yang telah 20 tahun bergabung dan memotret untuk kantor berita Perancis Agence France-Presse (AFP) itu, hadir sebagai bentuk dukungan atas terbitnya buku yang bersampulkan coret-coretan wajah si penulis. Salah satu rangkaian acara tersebut adalah foto bersama di panggung. Usai guyonan, “Bincang-bincang dong mba,” di sela-sela sesi pemotretan, para pewarta foto kembali ke tempat duduknya. Lalu kalimat  yang paling sering didengar itupun keluar, “Eh, captionnya apa?.”

Pfftt.. Klasik. Sebenarnya, si pewarta foto yang merupakan teman saya (mungkin setelah baca artikel ini, saya resmi dipecat sebagai teman), niatnya hanya ingin memastikan nama-nama orang yang difotonya di panggung. Tapi yang keluar malah pertanyaan yang ngangenin itu. 

Tidak munafik, pertanyaan senada pun sering saya lontarkan saat masih harus memotret dari satu tempat ke tempat lain dalam satu hari liputan. Menyusun kalimat menjadi caption foto memang terasa lebih membosankan daripada memotret itu sendiri. Apalagi hampir semua pewarta foto dibesarkan dengan prinsip, ‘shoot first, ask questions later’. Di satu sisi, itu sangat penting, karena mengabadikan momen adalah segalanya bagi seorang pewarta foto. You missed the moment, you’re screwed. Namun akibatnya, menulis caption menjadi pekerjaan yang dianggap sepele.

Keberadaan caption yang informatif pada suatu karya foto jurnalistik adalah vital. Tapi jujur saja, tidak sedikit editor yang kerap mengeluhkan kemampuan seorang pewarta foto dalam menulis caption yang baik. Lucunya, dii saat bersamaan, banyak juga pewarta foto yang mengeluh karena selalu merasa menjadi warga negara kelas dua setelah profesi penulis. Hingga kemudian, lahirlah buku Mata Lensa ini. Sang penulis adalah seorang pewarta foto tulen, tapi dia jelas bukan warga negara kelas dua. 

Kemampuan Adek Berry dalam menulis otobiografi-nya bahkan diakui oleh Desi Anwar yang menjadi panelis pada acara peluncuran buku bertajuk ‘Jejak Ketangguhan Seorang Jurnalisfoto Perempuan’ itu. “Cara Adek menuliskan bukunya sangat straightforward, jurnalistik banget, tapi menarik sekali,” pujinya. The living legend fotojurnalistik di Indonesia, Oscar Motuloh yang juga menulis ulasan di halaman depan buku itu pun menganggap cerita dan gaya tulisan Adek Berry sangat representatif dan diharapkan bisa menular ke teman-teman pewarta foto yang lain. “Ini buku yang sangat lengkap, tidak hanya berisi momentum, tapi ada sisi kemanusiaan,” ujar Oscar yang kerap dipanggil BO. “Buku ini pantas menjadi virus untuk teman-teman yang lain,” ujarnya lagi. 

Sepengetahuan saya, Mata Lensa digarap lebih dari dua tahun secara ambisius oleh mba Adek, begitu kami biasa memanggil beliau. Pewarta foto yang sangat mencintai pekerjaannya, with all the gain and the pain ini, merasa perlu membukukan pengalamannya menjadi pewarta foto selama sekitar dua dekade. Termasuk di dalamnya, pengalaman meliput daerah-daerah konflik dan bencana di Indonesia, maupun di Pakistan dan Afghanistan. “Semua frame (foto) yang kita ambil adalah bagian dari sejarah,” kata Adek Berry. “Buku ini menceritakan bagaimana kesulitan seorang pewarta foto dalam bertugas,” ungkapnya. Lebih lanjut, Adek mengaku salah satu motivasinya menulis buku ini adalah karena sering ditanya tentang pengalaman memotret di mana-mana dalam segala kondisi, sehingga ia pun terpikir untuk sekalian saja menceritakannya dengan lengkap dalam sebuah buku. 

Suasana Bicara Buku ‘Mata Lensa’ bersama (ki-ka) Pewarta Foto Senior sekaligus Kurator Galeri Foto Antara Oscar Motuloh, Jurnalis Senior yang merupakan TV Anchor Desi Anwar, Pewarta Foto AFP Adek Berry dan MC Laura Elvina di gedung auditorium IFI Thamrin, Jakarta, Rabu (29/11/2017). Buku tersebut merupakan otobiografi Adek Berry selama 20 tahun karirnya sebagai seorang pewarta foto. [Photo : Nickmatulhuda]

Mungkin perlu kerja keras dan tekad yang sangat besar untuk seperti Adek Berry, menuliskan kisah-kisahnya dengan gaya tulisan yang lincah, dalam 358 halaman. Ambisi seorang pewarta foto untuk terjangkit virus menulis dan melakukan hal serupa, harus sama besar, atau bahkan lebih besar dari niat Adek dalam menyelesaikan buku ini. Dan hal itu bisa dimulai dari sesuatu yang sepele. Seorang pewarta foto yang baik, harus menghentikan kegiatan praktis copy-paste caption, karena ia harus mampu mencari tahu sendiri, who, what, where, when, why dan how di saat maupun setelah memotret. Pewarta foto yang berkualitas, memahami betul apa yang ia foto. Tidak mudah memang, untuk menulis dan memotret sekaligus. Tapi sepertinya, di jaman yang kompetitif ini, tidak cukup menjadi seorang pewarta foto yang hanya bisa memotret. 

Pada saat peluncuran bukunya, Adek Berry mengingatkan, “Fotografer juga jurnalis, kita harus bisa menulis”. Dia menganggap semua pewarta foto punya cerita masing-masing yang bisa menginspirasi orang lain, sehingga ia setuju dengan istilah virus yang sempat dicetuskan oleh BO untuk menggambarkan sifat dari bukunya ini, untuk dapat menular kepada yang lain. Selain berharap ini bukan satu-satunya buku yang ditulisnya, Adek melihat Mata Lensa bisa sebagai pemicu lahirnya buku-buku selanjutnya oleh para pewarta foto Indonesia dari setiap generasi. 

Penasaran dengan buku ini? Ditunggu kehadirannya di Bicara Buku Mata Lensa yang terbuka untuk umum, pada Sabtu (2/12/2017) siang di Mandiri Inkubator Bisnis, Jakarta.

 

Nickmatulhuda (Eka) berkenalan dengan foto jurnalistik di Biro Foto Antara, tapi digembleng menjadi pewarta foto di Tempo News Room. Berstatus freelance, masih berusaha mencari tahu mana story/foto yang bagus (laku) dan tidak. Mencoba terus meyakini good story is news worthy dan layak tayang. Mencintai fotografi dan jurnalistik dengan sepenuh hati. Mengisi waktu dengan belajar, mengajar di kelas dan workshop fotografi, menjadi fixer tv dan produksi film, serta berlatih yoga.

Instagram: @nickmatulhuda

About 1000kata

1000kata adalah portal yang dikelola oleh 10 fotografer Indonesia, sebagai media alternatif untuk menampilkan karya, cerita, ide, opini, gagasan serta yang lainnya berkaitan dengan dunia fotografi. Mari berbagi.

Check Also

Cerita Dibalik Foto Pemenang Anugerah Adinegoro 2020

Bagi insan media termasuk jurnalis foto, mengabadikan pandemi Covid-19, sebuah peristiwa besar yang sangat jarang …

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.