Saya adalah fotografer yang percaya bahwa dunia fotografi selalu berubah dari masa ke masa. Apa yang menjadi konsumsi publik 30 tahun yang lalu berbeda dengan apa yang diminati publik jaman sekarang. Dengan hadirnya smartphone semua berubah cepat, jaman digital datang membawa banyak perubahan. Tiga puluh tahun yang lalu sajian foto ‘dibaca’ oleh publik, sekarang foto ‘ditonton’ publik. Publik sekarang dengan mayoritas anak-anak muda ‘jaman now’ lebih gemar ‘menonton’ foto cerita, mereka tidak lagi membacanya. Membaca tidak lagi menarik. Kenapa menonton lebih menarik? Karena di dalamnya terdapat suara yang menguatkan ‘pesan dan kesan’. Oh iya, tentu saja masih ada beberapa yang menyukai membaca foto, seperti membaca cerita. Salah satu bentuk paling sederhana dari tontonan berbasis foto adalah multimedia, bentuk dari beberapa format media yang digabung menjadi satu.
Tokyo Street
Itu semua adalah hipotesa yang saya yakini. Apakah hipotesa saya salah atau benar? Waktu yang akan menjawabnya. Saya membuat bentuk multi media ‘Tokyo Street’ berbasis fotografi yang dilengkapi video dan lagu. Tayangan ini dibuat dengan kamera Fuji XT2 dan dua lensa, 16mm dan 35 mm.
Saya membuatnya berdasarkan rasa yang saya tangkap ketika berjalan-jalan di Tokyo saat menghadiri event Fujikina 2017. Musim hujan dan suasana gloomy saya hadirkan dalam bentuk foto. Saya ingin menunjukkan semangat pekerja pekerja Jepang, juga ketertiban dan disiplin mereka. Meskipun secara overall saya menyukai warna velvia, tetapi kali ini saya memilih film simulasi classic chrome untuk menghadirkan kesan gloomy. Pradipta Beawiharta, mengisi musik dengan karyanya ‘Rain in Tokyo’ untuk menguatkan kesan yang saya tangkap.
NB, sebaiknya ditonton dengan mode full HD dengan memakai earphone.
Selamat Menikmati,
Beawiharta