Selamat Jalan Bang Jul…

Julian Sihombing memotret rekan dan kerabat yang menjemputnya di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, usai perawatan kanker di Singapura. Foto : KOMPAS/Agus Susanto

Satu lagi nama besar pewarta foto Indonesia berpulang. Julian Sihombing, pewarta foto Harian Kompas, menghembuskan hafas terakhirnya Minggu (14/10) dini hari di National University Hospital, Singapura karena kanker getah bening yang dideritanya. Julian meninggal di usia 53 tahun.

Teman, sahabat, kolega mengenal Julian sebagai sosok humoris, hangat dan blak-blakan. Bagi dunia fotojurnalistik Tanah Air, karya-karya Julian selalu berhasil memberi inspirasi. Kepergiannya menjadi sebuah kehilangan besar bagi dunia fotojurnalistik Tanah Air.

Selamat jalan Bang Jul, … doa kami menyertaimu…

Seribukata merangkai kesan-kesan sebagian pewarta foto terhadap sosok Julian Sihombing (JS) :

Danu Kusworo, Wakil Kepala Desk Foto Kompas :
“Dul” menjadi panggilan akrab Julian Sihombing di Desk Foto Kompas. Dia senior yg sangat bisa “ngemong” junior-juniornya, keras dan tegas dalam prinsip, terutama dalam bertugas sebagai salah satu editor foto Kompas, tapi sangat friendly dan kocak di sela-sela rutinitas kantor. Bahkan dikala menjalani perawatan, di masa sakitnya, Julian Sihombing (JS) masih selalu menyempatkan menanyakan kerjaan kantor dan keadaan temen-teman lainnya. Kompas dan dunia fotojurnalistik, akan selalu mengenang seorang Julian Sihombing sebagai salah satu guru foto jurnalistik. Selamat jalan Dul….

Lucky Pransiska, Pewarta Foto Kompas :
Julian Sihombing pernah berkata split second split moment itu bukanlah sebuah keberuntungan namun karena dia memang sudah siap dengan subjek fotonya. Dia tegas, keras dan tulus, bicara apa adanya dan selalu berjuang untuk kami. dia adalah mentor dan pendengar yang baik.. Ruang redaksi selalu meriah setiap malamnya karena tak ada dinding sosial di antara kita tak ada batas usia di antara kita.. Dia hebat tapi tak pernah merendahkan..

Heru Sri Kumoro, Pewarta Foto Kompas :
Bang Julian Sihombing, atau Bang JS, atau Bang Jul, biasa aku menyebutnya. Sosok guru, mentor, senior, dan kawan sekaligus. Karya-karyanya menjadi salah satu inspirasi aku masuk dunia fotografi jurnalistik. Bagiku dia sosok yang ulet dan total dalam bekerja. Dia sosok yang sangat mencintai institusi dia bekerja-Kompas, dan tentu rekan-rekan kerjanya. Saat menjalani perawatan sakitnya, dia menyempatkan main ke Kompas, sekedar untuk menyapa kawan-kawannya. Dalam beberapa kesempatan dia menyampaikan keinginannya untuk bisa kembali bekerja. Dia juga orang yang memiliki prinsip dan pendirian yang kuat. Dia rela memperjuangkan foto anak buahnya, juga foto karyanya, untuk bisa dimuat di halaman 1 Kompas jika memang layak, meski mungkin sebelumnya foto itu ditolak editor lain untuk nampang di halaman 1. Dia juga sangat dekat dengan rekan kerjanya. Dia mau berbagi ilmu dengan juniornya, bercanda dengan kami meski dari ilmu dan usia terpaut jauh. Dunia fotografi jurnalistik Indonesia kehilangan salah satu pewarta terbaiknya.

Agus Susanto, Pewarta Foto Kompas :
Turut berduka. Masih teringat bagaimana JS mengedit esai foto dengan perfect. Selamat jalan Bang.

Jerry Adiguna, Ketua Pewarta Foto Indonesia :
Julian Sihombing merupakan senior yang menanamkan pentingnya seorang pewarta foto untuk terus mengembangkan diri, mengasah kemampuan, mempertajam kepekaan dan empati.

Dadang Tri, Pewarta Foto Lepas :
JS orang paling baik yang pernah aku kenal. Selalu berbagi ilmu dan mau bergaul, menyapa teman2 fotojurnalis muda. Kocak, asyik orangnya….

Hariyanto, Redaktur Foto Media Indonesia :
Seorang senior, guru dan sahabat yang luar biasa. Selalu apa adanya, tak ada yg ditutup-tutupi. Bersahabat dengan JS adalah berkah yang tak terhingga buat saya. Virus kreativitasnya tanpa ia sadari telah menjalar ke banyak orang termasuk saya. Sebagai senior, JS memang sangat layak menjadi panutan. Selamat jalan sahabat….Semoga tenang dan diterima di sisi-NYA

Peksi Cahyo, Pewarta Foto Bola :
Buat gue, Bang Julian Sihombing adalah inspirator terbesar, ketika memutuskan menekuni profesi fotojurnalistik. Bisa dibilang gue cukup beruntung pernah berinteraksi langsung dengan beliau..
Ketika masih junior, pernah saat gue motret di Istana mencoba meniru angle-nya dia ngomong pedes begini “wah besok koran pagi angle fotonya bisa kembaran nih..” Sebuah sindiran yang akhirnya gue pahami bahwa fotojurnalistik selain menceritakan peristiwa juga harus ada authorship yang akan membedakan seorang fotojurnalis satu dengan yang lain. Yang berkesan lainnya adalah pernah dapat limpahan project foto dari beliau…deg-degan banget rasanya khawatir ekspektasi kualitasnya tidak tercapai. End all, JS telah meninggalkan banyak hal baik bagi dunia fotojurnalistik..

Arie Basuki, Pewarta Foto www.merdeka.com :
Beliau orang baik….yang mau share ilmu kepada fotografer-fotografer muda…..

Edy Purnomo, Pewarta Foto Lepas, Panna photo :
Bang Julian seorang sahabat yang sangat hangat dan luar biasa. Keterbukaan pemikiran terhadap perkembangan fotojurnalisme menjadi hal penting dalam diri Bang JS.

Beawiharta, Pewarta Foto Reuters :
Setiap ketemu dan memotret bareng di lapangan, dan terjadi sebuah peristiwa, di akhir kesempatan JS pasti bertanya, eh lu sudah pada dapet semua kan ? He care to everybody. Dan kalau ada yang tidak dapat, ada saja sarannya. And it works. Fotonya indah, hatinya juga indah. Cerdas, selalu menemukan angle yang lalu ditiru banyak orang. Tapi ia selalu marah kalau ada orang memotong pohon. Di tempat-tempat yang dikunjungi ia pasti punya pohon favorit. Ia mencintai pohon, Ia maestro yang rendah hati, membumi, seperti pohon.

Rizal Adi Dharma, Karyawan swasta dan fotografer
Waktu: suatu hari di bulan Juni tahun 2000.
Event: PON XV
Sore itu jam sudah menunjukkan sekitar pukul 6. Sekelompok perenang putri sedang melakukan persiapan. Kalau tidak salah, mereka akan bertanding di kelas gaya dada. Si cantik Elsa Manora Rosa Nasution ada disana. Komplek kolam renang itu disinari lampu dari empat sudutnya. Ketika para perenang tersebut akan melakukan jump start, tiga dari empat lampu itu tiba-tiba padam. Penerangan menjadi sangat minim. Hampir semua fotografer yang ada disitu pun urung memotret dan meletakkan kamera mereka. Tapi satu fotografer di depanku ini, yang tadi menegurku untuk tidak merokok di kolam renang, tetap berkutat dengan alatnya. Dia melepas lensa panjang dari body Nikon D1-nya, menempatkan lensa itu dalam tas kanvas Tamrac-nya dan kemudian memasang lensa tele yang tampaknya adalah 80-200. Semua dilakukan dengan cara yang halus. Pertandingan tetap dilanjutkan dengan hanya disinari satu lampu dan fotografer ini tetap sibuk memotret. I said to myself: “Mau motret apa Oom, nggak ada lighting-nya. Mau pake ISO 2 juta?” Aku lalu pergi dari kolam renang itu. Esok harinya, halaman depan Harian Kompas memuat foto panning yang bagus dari jump start itu. Di bawah foto itu tertulis “Julian Sihombing”. Aku pun cuma bisa berujar “Ah, bodohnya dirimu Rizal”.

Bagaimana dengan anda, punya pendapat dan pengalaman menarik dengan JS ?

 

Meski masih dalam proses pengobatan penyakit kanker, Julian Sihombing tetap bekerja mengedit foto-foto Kompas. foto: KOMPAS/Priyombodo

 

About Mast Irham

Mast Irham has been doing photography since he was a student at Communication Study at Sebelas Maret University in Solo, Central Java. Before he finished his undergraduate study, he had joined Antara news agency as a contributing photographer. After graduation, he worked for Media Indonesia newspaper until 2004, when he was chosen as one of the participants of photojournalism workshop organized by World Press Photo and Asia Europe Foundation in Hanoi, Vietnam. He later joined European Pressphoto Agency (EPA) in August 2004. During the more than 10 years of his career, Irham has been covering politics, economy, disaster, and sport events both in Indonesia and abroad. Among his notable experience were covering earthquake and tsunami in Aceh, and Bali bombing. His foreign assignments include Aung San Suu Kyii release in Myanmar, Australian Open tennis tournament in Melbourne, Australia, and earthquake in Nepal, Brazil's World Cup. Irham is now EPA chief photographer for Indonesia.

Check Also

Menuju Keheningan Milford Sound, New Zealand

Di kawasan yang masih merupakan bagian dari jalur pegunungan Southern Alps (Alpen Selatan) memiliki dua fiord yang terkenal yakni Milford Sound dan Doubtful Sound. Milford Sound terletak di bagian utara, sedangkan Doubtful Sound terletak dibagian selatan. Piopiotahi, sebutan orang Maori untuk Milford Sound memiliki teluk lebih pendek namun relatif lebih mudah aksesnya dibanding Doubtful Sound.

11 comments

  1. Tahun 98…kampanye presiden di Bundaran HI…saat itu Rudy Badil memanggil JS yg tengah meliput…Jul kata Badil…pinjem handphonenya…kemudian JS memberi handphonenya…Badil pun menelepon Pemred Warta Kota…Handphone yg dipinjamkan JS ke Badil utk kepentingan saya…yg saat itu melamar ke Warkot…JS baru sy kenal saat itu dan peristiwa tsb tak kan pernah terlupakan..selamat jalan JS dan terimakasih tak terhingga atas kebaikanmu saat itu…

    Odie Krisno

  2. Wendra raditya

    "waah foto elu masih jelek" itu adalah komentar ketika saya berjumpa dekat dengan bang JS. Sebagai junior yang masih manggang saat itu merupakan cambuk keras buat saya. Bang JS memberikan kritik dengan terbuka dan memberikan solusi. Beliau sempat meminjami sebuah lensa milik pribadinya agar saya dapat memperoleh foto yang ideal…sejak itu Bang JS merupakan inspirasi yang tidak pernah mati…selamat jalan bang…

  3. Arief Bagus/BOLA

    Ada satu hal kecil yang selalu saya ingat ketika berkesempatan menyopiri beliau saat mau motret bareng di Stadion Lebak Bulus beberapa tahun lalu.."Gus, jangan pernah pegang handphone kalau lagi nyetir"….Selamat jalan Bang Jul..karya-karyamu sangat-sangat menginspirasiku…

  4. Fransiskus/Kontan

    Bang JS itu tidak sombong, baik hati, …itulah dia…karya2 besarnya menuntut dia untuk tetap rendah hati, senyum khas nya selalu terkenang. Slamat Jalan Bang Julian…peristirahatan terakhir adalah awal dari kehidupan baru bertemu dgn sang pencipta….

  5. Saring pelajarannya, ambil hikmahnya.
    Semoga karya2 beliau menginspirasi generasi2 berikutnya.

  6. Peristiwa itu terjadi entah berapa puluh tahun silam. Sosok Julian Sihombing yang semula hanya melintas di dalam angan tiba-tiba ada di hadapan. Kala itu saya baru tiga hari bekerja sebagai fotografer Jawa Pos dan mendapat tugas meliput konferensi pers Perdana Menteri Australia Paul Keating di Kedubes Australia. Sungguh anomali, sosok JS ternyata lebih menyedot perhatian saya ketimbang Keating. Gerak-geriknya dengan sepatu timberland cokelat, tas domkee biru dengan list cokelat, dan kamera Nikon F4s dalam genggaman tak sedikit pun saya lewatkan. Betapa gembiranya bisa bertemu dengannya.

    Keinginan bertemu itu tentu saja bukan tanpa sebab. Sebagai orang baru, saya membutuhkan patron. Dan, nama JS melekat erat setelah beberapa kali foto yang terpampang di Kompas dengan inisial pemotretnya Kompas/JS betul-betul mengoda imajinasi visual, mengaduk-aduk rasa, menggerus nurani saya.

    Ya, melihat foto-foto JS seolah membaca kitab-kitab suci yang selalu menyadarkan diri pada nilai-nilai moralitas, bertumpu pada kebenaran dalam makna yang sebenarnya, tanpa rekayasa. Pada fase ini sosok bernama JS dengan karyanya sungguh layak dijadikan panutan. Apalagi untuk saya yang baru belajar merangkak menggapai asa di dunia kewartawanan. Itulah sebabnya, bertemu, berkenalan, dan berbincang dengannya menjadi sebuah kejutan yang tak terlupakan.

    Buat saya Julian Sihombing tidak sekadar membingkai kenyataan ke dalam bentuk visual yang artistik dan menyentuh, tetapi dengan nuraninya yang bijak ia sekaligus membunuh kenyataan itu dan membangkitkannya kembali menjadi sebuah kesaksian yang bernama kebenaran.

    Mengenal JS harus siap dengan segala ironi yang ia miliki. Di antara segudang alasan dan setumpuk kepentingan yang kerap meredusir kredibilitas pewarta foto, JS masih teguh menjalankan keimanan bernama idealisme. Selain itu ia juga menjadi sebuah ironi, ketika nama kondangnya selalu ia tanggalkan, menikmati kebersamaan bersama orang-orang yang tanpa ia sadari teramat menganguminya.

    Selamat jalan sahabat, terima kasih untuk keresahan dan virus kreatifitas yang telah kau tularkan.

    Hariyanto
    Media Indonesia

  7. Senior yang membumi dan rendah hati sekaligus berani….Selamat Jalan Om JS. Karya dan keramahanmu akan selalu terpatri dalam prasasti di bumi fotografi…

  8. Aku dan Bang JS, sama sama jadi wartawan istana kepresidenan zaman Bu Megawati jadi Presiden. Di Istana, bang JS yang seramah dan tak seramai yang dikisahkan kawan2 pewarta foto dalam artikel ini. Banyak yang segan menyapa duluan, sebab Bang Julian tampangnya dingin. Tapi aku cuek aja. Menyapa dan disapa oleh Bang Julian. Mungkin karena aku adalah sahabat Arbain Rambey, wartawan Kompas juga. Mungkin juga karena aku adalah sahabat adiknya, Stefan (Ucok). Dia banyak cerita soal apa saja. Dia cerita, sangat menikmati rutinitasnya naik kereta api dari Bintaro rumahnya, tiap kali harus ke Istana. Dia cerita, tentang istri dan anak anaknya, betapa Bang Julian sangat mencintai mereka. Julian adalah senior yang genius, begitu hebat, tidak usil, dan sangat mengagumkan karya karyanya. Bang JS, selamat jalan ya. Aku sungguh percaya, kau akan bahagia disurga bersama almarhumah ibundamu tercinta.

  9. JS manusia besar yang rendah hati… Selamat jalan Bang…

  10. JS orang yg terbuka, apa adanya..selamat jalan Bang..

  11. Ah aku hampir nangis baca artikel ini, … tapi nangis buat JS sih gak salah.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.