Diskusi Fotografi 18 Oktober

Fotojurnalis, seperti sering kita dengar, kurang mendapat penghargaan selaras dengan tugasnya yang begitu ‘penting’. Mendokumentasikan kisah nyata dengan cara paling otentik mungkin dan dengan integritas jurnalistik maksimal. Itu menjadi sebuah topik yang begitu populer dan serasa tanpa habis dibicarakan oleh para ‘visual wordsmith’. Namun apakah masalah tersebut bukan bersumber kepada fotojurnalis sendiri yang kurang bisa membangun apresiasi dari tingkat dasar?

Disisi lain, media pun secara koorporasi sudah mulai berubah, dalam beradaptasi dengan zaman, khususnya dunia internet dalam melihat foto dan pewarta fotonya. Merebaknya semangat citizen-journalism menjadi sebuah jalan keluar untuk menekan biaya dan kebutuhan gambar yang cepat yang kadang tanpa memperhitungkan biasnya berita karena posisi ‘pewarta dadakan’ yang merupakan anggota komunitas yang sedang dilaporkan. Namun apakah cukup dengan menyalahkan kredibilitas mereka akan merubah nasib fotografer yang mencari penghidupan didalamnya?

Perkembangan teknologi yang luar biasa dalam satu dasawarsa terakhir ini telah mampu membuat fotografi menjadi sebuah media yang cukup demokratis. Menjadi bagian dan kebutuhan kehidupan sehari-hari, baik tanpa sadar atau tidak. Jutaan foto tampil tiap harinya dibeberapa sosial-media dengan semangat sama, ‘mengabarkan’ atau ‘orang serius’ bilang storytelling. Fotografi menjelma sebagai sebuah media yang sangat inklusif. Bukan lagi dominasi para fotografer yang terkesan begitu cool dan heroic.

Namun antusiasme besar para amatir yang serius ini seperti kurang mendapat tempat di kalangan profesional khususnya pada genre jurnalistik dan dokumenter. Padahal di bagian lain fotografi, komersial misalnya telah mampu membuat komunitas-komunitas fotografi ini menjadi ‘ladang’ yang menggiurkan. Ada sebagian anggapan, mereka (para fotojurnalis) terlalu tinggi menilai dirinya sendiri dan sibuk menyiapkan bahan untuk ‘mengejutkan’ dunia. Hingga abai dalam mengedukasi calon pemirsanya di masa depan.

Konon, foto sudah menjadi barang yang tidak ‘semewah’ dulu saat ‘masa emas’ fotojurnalistik berlangsung. Memenang tidak semua orang yang bisa menulis akan menjadi penulis. Namun menjadi penulis pun belum tentu buku tersebut akan laku diserap pasar yang konon sangat menjanjikan. Tidak sekedar masalah ketrampilan teknis yang harus ditingkatkan, tapi menyangkut pola pikir yang harus mengikuti perubahan jaman. Cara berprilaku baik secara nyata maupun didunia maya yang perlu dipertimbangkan. Cara melihat tantangan menjadi sebuah peluang yang menggairahkan di masa mendatang.

Dengan semangat berbagi, kami mengundang anda semua untuk hadir dalam bincang-bincang yang akan mencoba menangkap semua misteri yang ada di sekitar kita. Membawa narasumber yang tidak asing di dunia kita :

  • Kemal Jufri, Fotografer, Pemenang World Press Photo 2011
  • Tantyo Bangun, Fotografer dan Penulis, Mantan Editor in Chief at National Geographic Indonesia Magazine
  • Ndoro Kakung, Praktisi Social-Media, mantan editor in chief tempo interaktif yang sekarang bekerja sebagai editor in chief di portal berita PlasaMSN

Tempat : Kuningan City

Hari/Tanggal : Kamis, 18 Oktober 2012

Pukul : 18.00

 

Berbincang-bincang tentang:

Fotografi yang Inklusif dan Membangun Apresisasi Fotojurnalistik Massa Depan

 

 

Coming together is a beginning; keeping together is progress; working together is success – Henry Ford

About 1000kata

1000kata adalah portal yang dikelola oleh 10 fotografer Indonesia, sebagai media alternatif untuk menampilkan karya, cerita, ide, opini, gagasan serta yang lainnya berkaitan dengan dunia fotografi. Mari berbagi.

Check Also

Lomba Foto Rumahku Halamanku: In the time of corona

Foto dan teks: Idealita @mavira.idealita Waktu-waktu berharga kami yang akan menjadi sejarah saat masa pandemic …

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.