Lady Gaga dan World Press Photo of the year

Hari ini di Instagram (IG) saya melihat foto Lady Gaga perform bersama Bradley Cooper dalam anugerah piala Oscar, menyanyikan lagu ‘Shallow’ yang merupakan soundtrack dalam film ‘A Star is Born’. Lagu itu memenangkan penghargaan Oscar tahun 2019. Foto hasil jepretan Mike Blake itu keluar dalam akun Instagram Reuters, dan setelah 23 jam pemuatan, foto itu disukai oleh 8.887 penikmat dan dikomentari oleh 103 akun.

Dengan mengklik tagar #gaga dalam laman foto Reuters itu kita bisa menemukan sepenggal video saat Cooper dan Lady Gaga menyanyi bersama. Dengan momen yang persis sama dalam foto Mike Black, di laman @ladygaga.media, video itu sudah dinikmati oleh 165.657 orang dengan komentar aktif sebanyak 921 penikmat.  

Dalam aplikasi IG, kita bisa menemukan dua bentuk media yang berbeda, foto dan video dari sebuah peristiwa yang sama. Dan terlihatlah angka perbandingan penikmatnya 8.887 berbanding 165.657. Dari perbandingan ini kita bisa melihat bahwa generasi ‘jaman now’ lebih menyukai video. Kenapa generasi ini lebih menyukai video dibanding fotonya? Apakah foto sudah tertinggal dari video sebagai media penyampai pesan? Susah untuk bilang tidak. Tetapi yang pasti video bisa menyampaikan beberapa perspektif sudut pandang secara bersamaan, foto single seperti punya Mike Blake tidak. Dan beberapa perspektif berbeda bisa tampil secara bersama juga bisa dilihat dalam bentukan foto story

Dengan alasan yang mirip dan bisa dianalogikan seperti inilah saya menebak bahwa, World Press Photo of The Year akan dihilangkan, dan diganti dengan World Press Photo Story of the Year, dan mungkin dua tahun lagi hanya tersisa, WPP Story of The Year dan WPP Digital Story telling of the Year. Sebuah foto single tidak bisa bercerita lebih jauh mengenai sebuah kisah. Sebuah photo story, seperti juga video, bisa. 

Setidaknya dibutuhkan sebuah pengetahuan menulis kalimat lengkap dan juga kemampuan menyusun kerangka karangan sepanjang satu alinea, bagi seorang wartawan foto untuk bisa memulai membuat foto story. Kalau seorang wartawan foto pada jaman milenial ini tidak bisa menyusun kerangka karangan, habis lah ia dimakan era gadget. Kemampuan memotret saja tidak cukup pada era Dilan ini. 

Bagaimana dari sisi media di Indonesia? Adalah majalah berita Tempo yang mengenalkan foto story pada awal tahun 1990an yang dijaga dan dikuratori oleh Yudhi Soeryoatmodjo. Tetapi tak lama. Rubrik foto story itu hilang ketika Yudhi tak lagi bekerja di Tempo. Kabarnya, rubrik itu dihilangkan oleh Tempo dan kemudian Yudhi mengundurkan diri. Terbukti rubrik itu muncul kembali di Majalah Matra dan juga digawangi oleh Yudhi.


Dari sisi fotografer, adalah Panna Foto dimotori oleh Sinartus Sosrodjoyo dan ibu kepala sekolah Ng Swanti bergerak mengedukasi fotografer dengan membuat Permata Photojiurnalist Grant (PPG) di tahun 2011. Panna menggandeng Permata Bank mengedukasi fotografer untuk membuat foto story, Permata Bank menyediakan sejumlah dana bagi fotografer yang lolos seleksi. Gerakan ini kemudian disupport penuh oleh Erasmus Huis. Mereka mendatangkan mentor foto kelas dunia serta editor foto dari Belanda. Dan tahun ini PPG sedang melangsungkan kelas angkatan yang ke-8.    

Dari sisi korporasi, sebagai salah seorang juri foto dalam Anugerah Jurnalistik Pertamina (AJP) di tahun 2015, saya mengusulkan anugerah untuk foto dalam AJP sebaiknya diubah dari anugerah foto tunggal menjadi anugerah untuk foto story. Saya mengadaptasi ini dari perubahan kebutuhan foto secara international yang terjadi pada tempat saya bekerja, Reuters. Reuters mengharuskan wartawan foto membuat tiga hingga empat foto story dalam satu tahun. Foto story dari seluruh belahan dunia itu bisa dilihat di laman  https://widerimage.reuters.com/

Ternyata usul itu sejalan dengan misi Pertamina untuk meningkatkan mutu wartawan. Dan hadiah sebesar 20 juta itu layak diberikan kepada pembuat foto story terbaik. Usulan ini disambut baik oleh Wianda Pusponegoro dan Adhiatma Sardjito setahun kemudian. Dan hingga kini AJP melombakan foto story sudah melalui tahun ke-3 nya.

Memang kita tidak harus mengekor pada WPP untuk ikut-ikutan menggenjot kemampuan membuat foto story, dengan, contohnya, mengikuti PPG atau AJP, atau mengasah kemampuan kita di laman-laman media yang ada. Bukan WPP yang membuat kita berubah. WPP berubah karena melihat media komunikasi visual sudah berubah. Dan sesungguhnya cara bercerita kita juga harus berubah karena penikmat gadget masa kini bukanlah orang-orang yang mengenal koran dan majalah.  Sebagai pelaku dunia komunikasi kita harus memenuhi kebutuhan itu. Kalau tidak, kita yang akan disingkirkan para penikmat visual ‘jaman now’.  

Beawiharta

About Bea Wiharta

Beawiharta adalah freelance photographer dan juga member 1000kata. Ia Menyelesaikan studi di IKIP Malang pada tahun 1988 kemudian menjadi pewarta foto pada tahun 1991. Pernah bekerja di Majalah Suasana, Majalah Sinar, Tabloid olahraga GO, Majalah Gatra dan kantor berita Reuters biro Jakarta sejak 1999 hingga 2018, dengan area liputan Indonesia, East Timor, Singapore, Thailand, Malaysia, Phillipina, China, Pakistan dan Afghanistan. Bea juga berpengalaman menjadi mentor workshop fotografi di berbagai tempat termasuk, Galeri Foto Jurnalistik Antara, Permata Photojournalist Grant dan World Press Photo class di Jakarta Tahun 2002. Menjadi juri foto dalam berbagai lomba foto dan mendapatkan penghargaan berbagai lomba foto di Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Hong Kong. Twitter: @beawiharta Instagram: @beawiharta

Check Also

Menelusuri Labirin Kotagede

Para pencinta fotografi menikmati kehangatan warga Kotagede. Mereka memasuki ruang-ruang personal dan menjadi bagian dari warga.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.