Ende, Gerbang Pembuka Surga Tanah Flores

Seorang bocah di depan rumah adat di desa Wae Rebo
Seorang bocah di depan rumah adat di desa Wae Rebo

 

 

Adrenalin dalam tubuh mulai terasa bergolak saat tahu kini giliran saya menjalani jelajah visual #IniNegriku. Seperti kata pepatah “Tak Kenal Maka Tak Sayang,” Kota Ende di Flores Nusa Tenggara Timur yang menjadi target destinasi menjadi sebuah petualangan selanjutnya bagi sembilan fotografer Seribukata untuk bagikan.

Di masa lalu Ende adalah sebuah kota tempat pengasingan sekaligus pengucilan salah satu tokoh sangat penting Indonesia yakni Bung Karno. Bapak Proklamasi tersebut dibawa ke situ menggunakan Kapal Jan van Riebeeck dari Surabaya, Jawa Timur pada awal tahun 1934.

Bila daerah wisata lain di Indonesia menawarkan keindahan alam, maka tanah Flores di mana kota Ende berada menyajikan wisata bersejarah, tradisi dan alam. Danau Kelimutu, Flores Nusa Tenggara Timur yang terkenal memiliki tiga warna dan acapkali berubah warna menjadi salah satu daerah wisata yang wajib dikunjungi.

Berbekal doa saya tinggalkan keluarga sejenak selama 6 hari di bulan Maret 2015 lalu untuk menyusuri tanah Nusa Tenggara Timur. Beruntung perjalanan jelajah visual #IniNegriku diakomodir oleh Garuda Indonesia. Penerbangan menuju Bandara Udara Haji Hasan Aroeboesman di kota Ende pun dilalui dengan nyaman dan aman.

“Selamat datang Mas Peksi,” begitu sapaan Ibu Aisyah staf Garuda Indonesia yang menyapa di tengah kilau sinar mentari pagi di runway landasan tepat pukul 07.30 pagi. Saya pun disambut oleh senyum dan wajah bersahabat yang membuat kian yakin bahwa perjalanan #IniNegriku di Flores akan lancar dan meninggalkan banyak kesan.

 

Bandara Udara Haji Hasan Aroeboesman, Ende
Bandara Udara Haji Hasan Aroeboesman, Ende

 

Rumah pengasingan Soekarno di Jalan Perwira kota Ende dan Taman Rendo di mana terdapat patung Bung Karno sedang duduk di bawah pohon sukun adalah target pertama dalam perjalanan ini.

Perjalanan maraton selama 6 hari di Flores dengan terus berganti kota, membuat saya memutuskan membawa perlengkapan fotografi yang ringan sekaligus handal. Beruntung, Samsung Indonesia membekali dengan kamera Samsung tipe NX-1 dan gadget Samsung Galaxy Note 4. Dua perangkat handle yang terintegrasi meudahkan saya langsung berbagi foto dan menceritakan mengenai jelajah visual #IniNegriku secara live.

 

Taman di situs rumah pengasingan Bung Karno di Ende
Situs rumah pengasingan Bung Karno di Ende

 

Puas mendengarkan celoteh Bapak Syafrudin yang menjadi juru pelihara Rumah Pengasingan Bung Karno, saya pun beringsut pamit melanjutkan petualangan selanjutnya. Petualangan sesungguhnya pun dimulai dengan bergeser ke arah timur menuju desa Wae Rebo yakni desa tradisional di di Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Wae Rebo menjadi list must have seen saat saya akan melakukan perjalanan menuju Flores dengan kota Ende sebagai gerbang pembukanya. Bila anda gugling kata Wae Rebo, maka saya yakin jiwa petualangan siapapun akan tertantang untuk bisa mengunjungi desa tersebut.

Untuk memulai perjalanan menuju Wae Rebo, kami singgah di desa terakhir yakni Denge. Lalu, berjalan selama 3,5 jam menjamah alam perbukitan dengan elevasi hingga 45 derajat membuat perjalanan trekking ini menantang sekaligus melelahkan.

Tapi semuanya terbayar begitu pukul 17.15 waktu setempat bersama Markus Schroedder asal Jerman dan dua kawan lainnya dari Pulau Jawa kami tiba dan melihat indahnya desa Wae Rebo.

 

Bersama teman seperjalanan di desa Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur.
Bersama teman seperjalanan di desa Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur.

 

Wae Rebo yang disebut-sebut sebagai Negeri di Atas Awan menjadi salah satu daerah yang memperoleh The UNESCO Asia-Pacific Heritage Awards for Cultural Heritage Conservation. Desa ini memang sudah dikembangkan sebagai desa wisata. Ada satu rumah di antara Mbaru Niang (rumah adat Wae Rebo berbentuk kerucut) yang disediakan sebagai penginapan untuk para tamu. Dan menikmati satu malam dengan tidur di situ bak sebuah pengalaman yang tak terbayarkan dengan harga berapapun.

Alam pun berpihak pada kami selama perjalanan ke Wae Rebo. Saat bangun pagi, kami mendapat hadiah sinar mentari pagi sembari menikmati kentalnya kopi khas desa tersebut.

Mayoritas penduduk Wae Rebo adalah beragama Katolik. Hanya saja uniknya, tradisi dan religi begitu kental hidup berdampingan di sini. “Agama Katolik dibawa oleh seorang misionaris Belanda sekitar 1 abad lalu,” ujar Bapak Lukas seorang tetua di situ.

Tak heran bila hampir semua laki-laki di Wae Rebo diberi nama seperti nama kitab di Injil. Ada Matius, Markus, Yohanes, Lukas dan sebagainya.

Mata visual saya benar-benar dimanjakan selama menikmati jelajah visual nusantara #IniNegriku di tanah Flores, Nusa Tenggara TImur. Sepanjang menyusuri Cancar, Ruteng, Bajawa, Aimere hingga kembali ke kota Ende saya disuguhi perpaduan gunung, pantai serta sawah dalam satu lokasi yang begitu indahnya.

 

Para wanita di Bajawa mengenakan kain tradisional khas daerah tersebut saat akan melayat ke rumah kerabat yang meninggal dunia.
Para wanita di Bajawa mengenakan kain tradisional khas daerah tersebut saat akan melayat ke rumah kerabat yang meninggal dunia.

 

Suasana di Pasar Mbongawani, Ende
Suasana di Pasar Mbongawani, Ende

 

Kehidupan masyarakat pesisir di Pantai Amaeri, Nusa Tenggara Timur.
Kehidupan masyarakat pesisir di Pantai Amaeri, Nusa Tenggara Timur.

 

Misi terakhir saya di perjalanan ini adalah melihat keindahann danau Kelimutu dan kembali ke kota Ende untuk merasakan denyut kota tersebut. Dan Desa Moni menjadi tempat peristirahatan sementara sebelum subuh hari esok mendaki puncak untuk melihat matahari terbit di atas Danau Kelimutu.

Persahabatan saya dengan cuaca selama di perjalanan ini mesti diakhiri di Danau Kelimutu. Saat berada di puncak sejak pukul 04.30 pagi hingga pukul 08.00, matahari tak jua muncul. “Hidup gak harus selalu menang khan?” begitu gumam saya dalam hati sedikit menyesali tak bisa memotret dengan kondisi alam yang mumpuni.

 

WIsatawan lokal dan manca negara siap mengabadikan momen matahari terbit di Danau Kelimutu, Flores Nusa Tenggara Timur.
WIsatawan lokal dan manca negara siap mengabadikan momen matahari terbit di Danau Kelimutu, Flores Nusa Tenggara Timur.

 

Ada hal yang begitu kuat saya rasakan sejak berinteraksi dengan masyarakat di tanah Flores. Selain rasa hormat akan tradisi, masyarakat bisa hidup rukun dan toleransi akan perbedaan latar belakang baik suku hingga agama.

Masyarakat penganut agama Katolik yang menjadi mayoritas di Flores bisa hidup berdampingan dengan rukun sejak lama dengan masyarakat pemeluk agama Islam. Umumnya masyarakat Muslim hidup di wilayah pesisir seperti Ende Utara di Kampung Ambutoda. Di kampung ini berdiri Mesjid Ar-Rabithah, mesjid tertua di Ende sebagai jejak dan tonggak peninggalan Islam.

 

Rumah adat di Bena, Bajawa bernama Sao Milo Ago.  Hampir di setiap rumah adat yang ditemui di Flores, simbol tradisi berdampingan erat dengan simbol religi.
Rumah adat di Bena, Bajawa bernama Sao Milo Ago.
Hampir di setiap rumah adat yang ditemui di Flores, simbol tradisi berdampingan erat dengan simbol religi.

 

Enam hari merasakan surga tanah Flores akhirnya harus diakhiri. Dan di sini saya paham ujaran “hidup itu adalah sebuah perjalanan bukan sebuah perhentian.” Perjalanan pendek #IniNegriku yang dimulai dari Ende sebagai gerbang pembuka memberi makna dan pembelajaran mengenai keindahan hidup menghargai perbedaan. (Peksi Cahyo)

 

——————

Peksi Cahyo adalah fotojurnalis yang lama berkecimpung di fotografi olah raga. Peksi bergabung dengan Seribu Kata pada tahun 2015. Info profil selengkapnya di http://www.seribukata.com/about/

About 1000kata

1000kata adalah portal yang dikelola oleh 10 fotografer Indonesia, sebagai media alternatif untuk menampilkan karya, cerita, ide, opini, gagasan serta yang lainnya berkaitan dengan dunia fotografi. Mari berbagi.

Check Also

Romantisme Paris van Java yang Abadi

Bandung sebagai pelabuhan terakhir dari rangkaian Photowalk dan Photography Workshop.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.