Imigran Rohingya Dalam Potret

Foto: Beawiharta/REUTERS
Foto: Beawiharta/REUTERS

 

Pagi hari pukul 6 kurang sedikit tanggal 20 mei 2015 saya bergerak menuju penampungan pengungsi di Kuala Langsa berburu foto imigran dengan sinar matahari pagi. Dalam perjalanan, saya mendapat informasi ada imigran Rohingya dan Bangladesh yang baru mendarat di daerah Julok, kabupaten Aceh Timur. Jadilah saya memutar arah mencari daerah bernama Julok dan mobil sewaan ini pun dikebut ke arah Julok. Kalau sudah mengejar waktu seperti ini, sopir dengan keahlian seperti pembalap pun rasanya masih kurang cepat saja. Sampai di pelabuhan kecil pendarat ikan saya agak terlambat, imigran imigran itu sudah naik di darat, bahkan sebagian dari mereka sudah mendapatkan makanan dan air minum. Keadaaan mereka memprihatinkan, terutama anak-anak, kurus, lemah dengan pakaian yang compang-camping.

Masyarakat Aceh luar biasa spontanitas nya. Air minum dan biskuit mengalir tak berhenti dari nelayan sekitar pelabuhan ikan itu, bahkan juga dari kota Idi Rayeeuk yang jauhnya sekitar 15 kilometer. Segala macam mobil dan becak beroda tiga berdatangan membawa makanan. Mereka juga sekaligus ikut jadi alat pengangkut para imigran yang tak kuat berjalan untuk pindah ke tempat yang lebih layak daripada duduk kepanasan di tanah lapang. Mengikuti perjalanan mereka berjalan kaki dari tanah lapang menuju mesjid desa Julok dimana mereka mandi dan mendapat makanan sungguh suatu pengalaman yang luar biasa hari itu buat saya.

Foto: Beawiharta/REUTERS
Foto: Beawiharta/REUTERS

Seketika saya tergerak ingin membuat seri portrait buat kantor saya, Reuters. Tetapi saya tahu dalam situasi seperti ini foto news amat sangat dibutuhkan dan diutamakan. Dan seri portrait menjadi prioritas ke sekian. Jadilah saya membuat foto foto news sambil mencari peluang membuat seri portrait.

Saya mulai memperhatikan tingkah laku para imigran itu lebih detail, terutama anak-anak. Tapi tak mudah mendapatkan tema yg cukup kuat. Tapi saya mulai melihat korelasi antara ibu dan anak-anak para imigran itu. Diantaranya adalah seorang anak namanya Hamedollah, umurnya sekitar 2 atau 3 tahun, saya tak yakin. Dia selalu merengek minta makanan kepada sang ibu. Sambil menggendong, ibunya berjalan kesana kemari cari makanan. Nah ketika ibunya mendapatkan minum, segera dia minum sebagian, lalu sisanya oleh Hamedollah dia minumkan ke ibunya. Kalau ibunya tak mau, mungkin kenyang atau menolak, Hamedollah ini memaksa. Pokoknya ibunya ini harus minum. Juga soal makanan. Dia selalu merengek minta makanan, ketika dapat, dia akan memakan dengan lahap dan lalu dia akan memaksa ibunya memakan sebagian sisanya. Mungkin Hamedollah ini merasa bahwa ibunya juga harus makan. Saya tertarik melihat interaksi ibu anak ini. Ternyata rata-rata anak anak imigran ini tak mau berpisah dari ibunya, meski sekejap. Apalagi kalau mereka bergeser ke tempat yang baru. Mereka selalu memegang ibunya erat-erat. Saya pun dapat ide buat seri portrait yang bisa merefleksikan eratnya hubungan antara ibu dan anak.

Menjelang sore, setelah selesai mengirim foto hari itu, saya bergerak menuju pesisir dengan menyewa kapal nelayan. Saya ingin memotret kapal yang ditinggal para imigran itu. Diantar pak Rojali, salah satu dari lima nelayan yang menemukan kapal para imigran pertamakali, saya bergerak menuju muara. Perahu pak Rojali ini kecil saja, ukurannya mungkin 10 meter kali 2 meter lebar. Bermesin diesel dengan peralatan keselamatan yang lumayan, termasuk GPS, radio komunikasi, tape recorder dengan sound box cukup besar serta memiliki dua lempeng solar cell di atapnya. Perjalanan dari desa nelayan menuju kapal imigran memakan waktu sekitar 1,5 jam. Ketika naik ke atas kapal imigran berwarna hijau ini, barulah saya tahu bahwa kapal inilah yang diusir dari perairan Thailand oleh otoritas setempat sekitar seminggu yang lalu. Yang prosesnya sempat diabadikan oleh Christophe Archambault dari AFP dengan foto-foto imigran yang berebut makanan nya menjadi headline dimana-mana. Kapal imigran ini bagus sekali, kokoh, mesinnya pun bagus. Berbeda sekali dengan kapal nelayan Indonesia yang biasa dipakai migrasi ke Australia. Instalasi listriknya pun teratur dan rapi. Palka-palka di dalamnya disusun khusus bertingkat-tingkat agar orang banyak bisa tidur di dalamnya. Kapal ini juga dilengkapi konstruksi toilet portable dari besi kokoh yang menggantung di luar kapal. Jadi kalau mau buang air ya harus bergantung-gantung di atas air. Kapal ini menebarkan aroma yang luar biasa busuk.

Foto: Beawiharta/REUTERS
Foto: Beawiharta/REUTERS

Setelah melihat kapal para imigran itu main kuatlah keinginan membuat portrait membayangkan betapa buruknya situasi mereka di laut. Esok paginya masih juga disela-sela membuat foto news saya mencari peluang bikin foto portrait. Untuk membiasakan membuat foto portrait, kali ini saya cuma memakai satu kamera dan satu lensa, Canon 1dx dan lensa 50 mm f1.4. Jadilah foto foto hari ini semua berasal dari lensa 50 mm. Dan saya memasangnya pada bukaaan diafragma 2 agar memberikan efek berdimensi ruang di fotonya.

Pemilihan subyek portrait ini agak susah karena kendala bahasa, saya tak bisa bahasa Myanmar, pun sebaliknya. Dan juga saya tak bisa mempersiapkan tempat khusus. Jadi saya akan memanfaatkan situasi yang ada. Kebetulan ada 2 antrian imigran yang ditampung di Bayeun hari ini. Dua-duanya pendataan identitas, yang satu untuk keperluan kepolisian dan yang lain untuk keperluan imigrasi. Ada juga antrian pembagian makanan kecil dan juga mainan.

Dari segala antrian di penampungan para imigran ini ada dua hal yg menyolok. Kalau deretan lelaki, antrian itu mudah diatur untuk tertib, tetapi kalau antrian buat perempuan, sangat-sangat sukar diatur menjadi tertib. Semua ingin berdiri paling depan. Ternyata, melalui penterjemah yang saya pinjam dari IOM, saya mengerti bahwa, yang tak mau tertib ini biasanya ibu-ibu. Penyebabnya, mereka ingin selalu di depan agar segera mendapatkan makanan, juga mainan walaupun cuma sebuah bola plastik kecil, untuk anaknya. Mereka takut kehabisan jatah dan anaknya tak mendapat apa-apa. Ibu-ibu memang luar biasa.

Foto: Beawiharta/REUTERS
Foto: Beawiharta/REUTERS

Pemotretan identitas untuk kepolisian dilakukan di dalam ruang. Sebetulnya cukup menarik karena sebagai background ada petunjuk identitas tinggi badan mereka. Sedangkan yang lain, dilakukan dinas imigrasi Aceh di luar ruang dengan background seadanya, kadang pohon dan bahkan juga toilet portable.

Saya akhirnya memutuskan membuat seri portrait ibu dan anaknya masing-masing, dengan menumpang proses pendataan yang dilakukan kantor imigrasi Aceh di luar ruang dengan pertimbangan;

Yang utama, saya membutuhkan ekspresi para imigran. Buat saya, ekspresi lebih penting dibanding data tinggi badan. Dalam pendataan yang dilakukan imigrasi, setelah pengambilan sidik jari , foto diri harus berdiri sendiri, sehingga anak anak pun harus terlepas dari ibunya. Ada banyak kemungkinan reaksi yg menarik disini. Saya memotretnya sesaat setelah petugas imigrasi melaksanakan tugasnya.

Terbukti saat pemotretan yang dilakukan kantor imigrasi, banyak anak kecil menangis ketika harus berdiri terpisah dari ibunya. Bahkan hanya semeter atau pun sejengkal. Dan ketika mereka bisa memeluk ibunya lagi, tangisan itu dengan sendirinya berhenti. Dari pengalaman di atas kapal selama sekitar 3 bulan, anak-anak ini tahu bahwa tempat paling aman di muka bumi adalah menempel pada ibunya. Mereka merasa aman. Itulah sebab mereka tak mau berpisah dari ibunya.

Kedua, saya memilih pemotretan dengan background toilet portable bukan yang berlatar belakang pohon. Ini menunjukkan bahwa ini adalah tempat penampungan sementara, juga sekaligus saya berharap, hanya berharap, bisa merefleksikan bahwa tempat pemotretan ini bau sepanjang hari karena kotoran manusia bertebaran dimana-mana. Bahkan tak lebih dua meter dari tempat mereka berdiri, dan juga saya, ada kotoran manusia masih segar yang menyebarkan harum kemana mana. Coba lihat fotonya, masih bau gak ?

Salam,

Beawiharta

 

Foto: Beawiharta/REUTERS
Foto: Beawiharta/REUTERS
Foto: Beawiharta/REUTERS
Foto: Beawiharta/REUTERS
Rohingya migrant mother (R), who recently arrived in Indonesia by boat,  holds her child  placard while posing for photographs for immigration identification purposes inside a temporary compound for refugees in Aceh Timur regency
Foto: Beawiharta/REUTERS
Rohingya migrant mother, who recently arrived in Indonesia by boat,  holds a placard of her child during photograph for immigration identification inside a temporary compound for refugees in Aceh Timur regency
Foto: Beawiharta/REUTERS
Rohingya migrant mother, who recently arrived in Indonesia by boat,  holds her child  placard while posing for photographs for immigration identification purposes inside a temporary compound for refugees in Aceh Timur regency
Foto: Beawiharta/REUTERS
Foto: Beawiharta/REUTERS
Foto: Beawiharta/REUTERS
bea01
Foto: Beawiharta/REUTERS
Foto: Beawiharta/REUTERS
Foto: Beawiharta/REUTERS

 

Link: http://www.nrc.nl/inbeeld/2015/05/22/rohingya-na-maanden-dobberend-op-zee-opgevangen-in-atjeh/

beaBeawiharta, Reuters photographer, member of Seribukata. Lahir 21 Juli 1964 di Jember, Jawa Timur. Ia Menyelesaikan studi di IKIP Malang pada tahun 1988 kemudian menjadi pewarta foto pada tahun 1991. Pernah bekerja di Majalah Suasana, Majalah Sinar, Tabloid olahraga GO, Majalah Gatra dan kantor berita Reuters biro Jakarta sejak 1999 hingga sekarang, dengan area liputan Indonesia, East Timor, Singapore, Thailand, Malaysia, Phillipina, China, Pakistan dan Afghanistan. Bea juga berpengalaman menjadi mentor workshop fotografi di berbagai tempat termasuk, Galeri Foto Jurnalistik Antara, Permata Photojournalist Grant dan World Press Photo class di Jakarta Tahun 2002. Menjadi juri foto dalam berbagai lomba foto dan mendapatkan penghargaan berbagai lomba foto di Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Hong Kong. Twitter: @beawiharta Instagram: @beawiharta

 

 

 

 

 

About Mast Irham

Mast Irham has been doing photography since he was a student at Communication Study at Sebelas Maret University in Solo, Central Java. Before he finished his undergraduate study, he had joined Antara news agency as a contributing photographer. After graduation, he worked for Media Indonesia newspaper until 2004, when he was chosen as one of the participants of photojournalism workshop organized by World Press Photo and Asia Europe Foundation in Hanoi, Vietnam. He later joined European Pressphoto Agency (EPA) in August 2004. During the more than 10 years of his career, Irham has been covering politics, economy, disaster, and sport events both in Indonesia and abroad. Among his notable experience were covering earthquake and tsunami in Aceh, and Bali bombing. His foreign assignments include Aung San Suu Kyii release in Myanmar, Australian Open tennis tournament in Melbourne, Australia, and earthquake in Nepal, Brazil's World Cup. Irham is now EPA chief photographer for Indonesia.

Check Also

Menelusuri Labirin Kotagede

Para pencinta fotografi menikmati kehangatan warga Kotagede. Mereka memasuki ruang-ruang personal dan menjadi bagian dari warga.

One comment

  1. Hari prasetyo

    Jujur.
    Inilah pesan terkuat yang bisa saya tangkap dari rangkaian foto dan artikel yang menyertainya.

    Kejujuran dalam rasa kemanusiaan yang tanpa dibuat-buat oleh warga Aceh dalam menolong sesama manusia yang membutuhkan bantuan.

    Kejujuran kasih sayang seorang ibu terhadap anak-anaknya. Dimana seorang ibu mampu dan sanggup berbuat apapun demi kebaikan anaknya.

    Dan kejujuran anak-anak dalam mengekspresikan kasih sayang, keterikatan dan ketergantungannya terhadap sosok seorang ibu.

    Dan jujur saja, saya langsung merasa tertampar, haruskah saya mengalami hal yang sama seperti ‘mereka’ dulu supaya saya bisa lebih menghargai dan mencintai ibu saya ataupun sesama manusia?

    Mas Beawiharta, terimakasih banyak atas postingannya.
    Salam.
    ????

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.