Terpukau Berau

 

Encau Anyi bersiap ke ladang di kampung suku dayak Kenyah, Merasa, Berau

 

 

Menjelajah adalah naluri dasar manusia dan hasrat untuk berpetualang itu kodrat duniawi. Bersyukurlah tinggal di tanah Indonesia yang kaya dan menawarkan pesona yang beragam. Raja Ampat, Wakatobi dan Derawan adalah tiga dari banyak tempat yang ingin saya kunjungi. Dua nama pertama, kebetulan telah terpenuhi dan kesempatan datang saat tim seribukata meminta saya untuk menjelajah Berau. Akhirnya, Derawan ada di depan mata.

 

Hari yang ditunggu tiba. Gerimis menemani keberangkatan menuju Balikpapan dari Bandara Soekarno Hatta. Pagi itu sengaja berangkat agak awal karena penerbangan ke Balikpapan akan take off jam 06.40. Rasanya tak sabar untuk menginjakkan kaki ke Ujung Borneo, Berau. Dengan waktu cukup singkat yang hanya lima hari, jadwal padat dan merayap pun menanti.

 

Setelah transit selama kurang lebih dua jam di Balikpapan, saya melanjutkan penerbangan ke Tanjung Redeb, ibu kota Berau. Jarak tempuh Balikpapan-Tanjung Redeb hanya 45 menit.

 

Cuaca cerah dan panas menyambut saat tiba di Bandara Kalimarau, Tanjung Redeb. Kemudian langsung menuju ke rumah makan ikan patin bakar di pinggiran kota bersama tim Garuda Indonesia Branch Office Berau. Aroma patin bakar menggoda sekali. Asap tipis beraroma gosong mengepung para penikmat di restoran kecil itu. Tapi lapar mengalahkan segalanya. Seporsi Ikan patin bakar dengan sop patin saya lahap dengan sigap.

 

Ikan patin bakar di Tanjung Redeb

 

 

Setelah kenyang dan merasa cukup energi, saya bergegas jalan mengelilingi kota. Tempat yang pertama saya kunjungi adalah Museum Battiwakal. Disitu terdapat situs istana Gunung Tabur. Salah satu dari tiga kerajaan yang pernah berkuasa di Berau selain Kerajaan Berau dan Kerajaan Sambaliung. Kesultanan Gunung tabur dan Sambaliung merupakan pecahan dari Kerajaan Berau. Saat itu Belanda dengan membonceng VOC memecah belah untuk mengurangi kekuatannya. Didalam istana, berbagai macam peninggalan kerajaan bisa kita lihat. Mulai dari singgasana raja, tempat tidur, keramik antik sampai alat memasak pada jaman itu.

 

Pintu masuk istana gunung tabur, tanjung redeb, berau

 

Barang barang peninggalan kesultanan Gunung tabur, Tanjung Redeb, berau

 

Istana Ganung Tabur

 

Raja pertama kesultanan Gunung tabur ini adalah Sultan Muhammad Zainal Abidin (1822-1833) dan terakhir adalah Aji Raden Muhammad Ayub (1951-1960). Istana Gunung Tabur terletak di tepi sungai Segah. Sungai yang membelah kota Tanjung Redeb dan menjadi urat nadi kehidupan masyarakatnya. Menurut sejarah, kerajaan Gunung Tabur ternyata masih ada kekerabatan dengan Melayu. Itulah sebabnya pada lambang kerajaan terdapat gambar Harimau Sumatera. Pada saat awal berdirinya itulah, penyebaran Islam di Berau mulai menggeliat. Setelah puas berkeliling di museum, tak terasa matahari mulai tenggelam, saatnya kembali ke hotel dan bersiap untuk perjalanan esok hari ke Pulau Derawan.

 

Kepulauan Derawan merupakan gugusan pulau pulau kecil dengan empat pulau utama yaitu Derawan, Kakaban, Sangalaki dan Maratua. Untuk trip kali ini, dua tempat yang akan saya kunjungi yaitu Pulau Derawan dan Pulau Kakaban.

 

Perjalanan agak panjang. Dimulai naik mobil dari Tanjung Redeb ke pelabuhan Tanjung Batu dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Dari Tanjung Batu kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan kapal cepat berkapasitas empat orang menuju Pulau Derawan selama satu jam. Setelah kapal bersandar, saya berjalan menyusuri perkampungan yang tidak begitu besar dan cukup padat. Suasana cukup ramai dimana banyak warung makan dan homestay bertebaran di jalan utama pulau ini. Beberapa penjual menawarkan suvenir seperti gelang dan kalung dari akar bahar, sejenis tanaman laut. Masyarakat di pulau ini pada umumnya nelayan dengan mayoritas orang Bugis dan Bajau.

 

Derawan merupakan ikon Berau. Pesona keindahan bawah laut yang memukau menjadi magnet bagi para wisatawan. Salah satu tempat yang eksotis adalah Danau Kakaban. Danau air payau ini terletak di tengah Pulau kakaban dan hanya ada dua lokasi di dunia, yakni di Kepulaun Derawan, Indonesia dan Republik Palau di Pasifik. Butuh sekitar 1,5 jam naik kapal cepat dari Pulau Derawan untuk sampai di tempat ini.

 

Danau kakaban merupakan ekosistem yang unik karena didalamnya menjadi habitat ubur ubur (Jelly Fish) yang kehilangan kemampuan menyengat alias tidak beracun. Cukup melakukan snorkling, wisatawan bisa berenang bersama dengan ratusan ubur ubur. Bahkan ubur-ubur yang ada di danau Kakaban, jauh lebih banyak di bandingkan dengan yang ada di Republik Palau. Karena binatang ini cukup rapuh, disarankan tidak memakai kaki katak (fin) saat berenang.

 

Wisatawan berenang bersama Ubur-Ubur di Danau Kakaban, Kepulauan Derawan, Berau, Kaltim

 

 

Bohe (70 tahun) , seorang suku bajau , merapikan jaring seusai menangkap ikan di gosong Kabak Tengah, Pulau Derawan
Bohe (70 tahun) , seorang suku bajau , merapikan jaring seusai menangkap ikan di gosong Kabak Tengah, Pulau Derawan

 

 

Berbagai macam kerajinan dan suvenir dari akar bahar di Pulau Derawan
Berbagai macam kerajinan dan suvenir dari akar bahar di Pulau Derawan

 

Dari Derawan kita melompat menuju tenggara Berau. Ada nirwana tersembunyi di daerah Biduk Biduk. Tempat itulah tujuan saya berikutnya. Konon sejarahnya dulunya Biduk Biduk merupakan sebuah daerah tanpa penduduk. Kawasan ini hanya dijadikan sebagai tempat persinggahan perahu yang lalu-lalang. Perahu-perahu tersebut sering dijarah atau dirampok. Dari situlah kawasan ini disebut biduk-biduk yang artinya perahu-perahu.

 

Perjalanan darat menuju Biduk Biduk dapat ditempuh selama 6 jam. Bekal yang penting adalah isi bensin mobil anda saat di Tanjung Redeb, karena selama perjalanan kurang lebih 300 km itu hanya ada dua Stasiun Pengisian Bahan Bakar umum (SPBU) yaitu di Tanjung Redeb dan Talisayan.

 

Selama perjalanan, anda akan melintasi lokasi pabrik PT Kiani Kertas yang telah kosong sejak diputus pailit oleh pengadilan. Dulunya, pabrik itu merupakan yang terbesar se Asia Tenggara ketika masa jaya pemiliknya, Bob Hasan. Selain itu, anda akan melewati hutan kalimantan dan area perkebunan sawit yang cukup panjang. Tak jarang anda akan menemui hewan liar melintas seperti ular dan biawak yang tak sungkan menyeberang untuk ‘menyapa’.

 

Hari sudah larut ketika tiba di Biduk-Biduk. Saya langsung menuju ke penginapan untuk melepas lelah. Penginapan di wilayah itu masih tergolong sedikit. Tapi jangan kuatir walaupun sekelas homestay, tapi para tamu mendapat sajian panorama pantai di depan kamarnya.

 

Burung Camar berjajar di pantau teluk sulaiman, Biduk Biduk, Berau
Burung Camar berjajar di pantau teluk sulaiman, Biduk Biduk, Berau

 

Tujuan utama saya adalah untuk mengujungi Kampung Dayak di Teluk Sumbang. Untuk menuju ke lokasi ada dua alternatif jalan. Pertama mengunakan mobil melintasi jalan tanah dan berbatu dengan jarak sekitar 30 km atau lewat jalur laut naik kapal sekitar satu jam ke Teluk Sumbang dilanjutkan berjalan kaki sekitar 30 menit. Saya pun memilih opsi kedua karena hujan pada malam sebelumnya, dikhawatirkan jalan akan becek dan tidak bisa dilalui mobil.

 

Untuk menuju kampung suku dayak itu, anda harus naik mobil ke pelabuhan Teluk Sulaiman dan dilanjutkan naik kapal ke Teluk Sumbang. Ketika tiba di perkampungan dayak, saya disambut oleh pak Sarekat, salah satu warga yang sudah lama tinggal di kampung itu. Suku Dayak di Berau pada umumnya tinggal di daerah perbukitan, hutan dan dekat dengan aliran sungai. Ada bermacam suku dayak di daerah ini yaitu Dayak Punan, Dayak Kenyah dan Dayak Basap .

 

Ujang Stin (29 tahun) bersiap ke ladang di kampung suku dayak kenyah, Merasa, Berau
Ujang Stin (29 tahun) bersiap ke ladang di kampung suku dayak kenyah, Merasa, Berau

 

Orang Dayak masih menjalani cara hidup nomaden, dengan cara membuka ladang di tengah hutan dan selalu berpindah-pindah tempat dengan pola tebas dan bakar. Selain itu mereka juga berburu binatang. Para lelaki Dayak adalah pemburu-pemburu yang piawai. Dengan senjata “suputan” atau sumpit yang bentuknya mirip tombak dan ada juga yang mirip senapan. Sumpit yang terbuat dari kayu ulin ini panjangnya sekitar 2,5 meter, sedangkan mata sumpitnya atau telo hanya 10 sentimeter. Di ujung telo dioleskan ito (getah beracun), pengaruh racun ini sangat kuat, dalam waktu lima menit saja hewan buruan akan mati.

 

Sumpit panjang untuk berburu binatang

 

 

Bagi kaum perempuan dayak, selain berkebun atau berladang, biasanya mereka mengerjakan anyaman dari rotan dan bambu. Hasil anyaman berupa keranjang atau topi mereka jual atau ditukar dengan barang kebutuhan lain.

 

Wanita suku dayak mengayam keranjang di kampung dayak Teluk Sumbang, Biduk Biduk, berau
Wanita suku dayak mengayam keranjang di kampung dayak Teluk Sumbang, Biduk Biduk, berau

 

Selain kampung dayak, ada satu tempat lagi yang wajib dikunjungi pelancong di biduk Biduk yaitu Danau Labuhan Cermin. Selain airnya yang jernih, danau yang tak lebih luas dari lapangan bola ini juga mempunyai keunikan yang tidak dimiliki oleh danau biasa lainnya, yaitu air tawar di lapisan atas dan air laut di bawahnya. Keduanya hidup rukun berdampingan bagaikan dipisahkan oleh kaca yang tak terlihat oleh mata.

 

Wisatawan berenang di danau Labuhan Cermin, Biduk-Biduk, Berau
Wisatawan berenang di danau Labuhan Cermin, Biduk-Biduk, Berau

 

Di tempat ini saya sempat merenung, sesekali melihat pengujung yang berenang sembari bercanda dan tertawa lepas. Tawa yang mengisyaratkan sebuah pesan untuk kita agar tetap menjaga nusantara. Biarkan tawa itu langgeng mengiringi langkah negeri ini.

 

Lima hari berlalu dan waktu yang terlalu singkat untuk menyelami Berau. Tapi cukup untuk membuat saya belajar mengenal saudara setanah air. Meninggalkan tempat ini menyisakan sebuah harapan, semoga suatu saat nanti saya kembali dan masih Terpukau Berau… (teks dan foto-foto: Prasetyo Utomo)

 

——————————

Prasetyo Utomo bergabung dengan Seribu Kata sejak 2015. Dia lahir di Blora, Jawa Tengah. Belajar fotografi dari otodidak dan mengawali karir sebagai pewarta foto di Kantor Berita ANTARA pada tahun 2006 sampai sekarang. Selama bekerja di ANTARA meliput beberapa peristiwa penting seperti Piala Asia 2007 di Jakarta, Upacara pemecahan rekor selam massal di Sail Bunaken tahun 2009, Liputan ibadah haji di Arab Saudi tahun 2011, Sea Games Myanmar 2013 dan sejumlah peristiwa penting lainnya.

Pada tahun 2012, Lulusan Universitas Diponegoro Semarang ini mengeluarkan buku foto tentang perjalanan Haji dengan judul “ Makkah Photographic Diary’ “.

Beberapa penghargaan juga pernah diterima antara lain Anugerah Adiwarta tahun 2008 dan 2009 untuk foto terbaik bidang hukum, olah raga dan ekonomi. Twitter: @prasutomo Instagram: @prast_utomo

About 1000kata

1000kata adalah portal yang dikelola oleh 10 fotografer Indonesia, sebagai media alternatif untuk menampilkan karya, cerita, ide, opini, gagasan serta yang lainnya berkaitan dengan dunia fotografi. Mari berbagi.

Check Also

Pemenang Regional World Press Photo Contest 2024 

World Press Photo hari ini (3/4/2024) mengumumkan para pemenang regional Kontes 2024, yang menampilkan pilihan …

2 comments

  1. Wah! Labuhan cermin! Pengen banget kesituu 😀

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.