Jatuh Rinduku akan Sumba

Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda. Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh. Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua. Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka. Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh. Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda. Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.

Barangkali sepenggal bait puisi karya Taufik Ismail berjudul “Beri Daku Sumba” tersebut, seakan tepat sekali menggambarkan apa yang saya rasakan. Padang yang menghijau setelah musim penghujan dan kawanan kuda yang gesit berlarian, membuat saya jatuh rindu, hanya cukup di hari pertama saya mengenalnya. Tentu, saya bukanlah orang pertama, barang kali keseribu sekian atau kesejuta sekian dari orang yang mengalami perasaan yang sama akan Sumba.

Kawanan kuda berlaraian di padang sabana di daerah Wairinding, Sumba Timur.
Kawanan kuda berlaraian di padang sabana di daerah Wairinding, Sumba Timur.
Sabana yang luas di daerah Sumba Timur.
Sabana yang luas di daerah Sumba Timur.
Warga kampung adat Praiyawang, Rindi, Sumba Timur menunjukkan beberapa kain tenun. Tenun ikat asal Sumba merupakan salah satu tenunan yang terkenal.
Warga kampung adat Praiyawang, Rindi, Sumba Timur menunjukkan beberapa kain tenun. Tenun ikat asal Sumba merupakan salah satu tenunan yang terkenal.
Ibu Yuliana menenun kain ikat Sumba berwarna dasar indigo yang disarikan dari daun tarum (indigofera tinctoria).
Ibu Yuliana menenun kain ikat Sumba berwarna dasar indigo yang disarikan dari daun tarum (indigofera tinctoria).
Tatto bermotif mahang atau singa menghiasi tangan seorang lelaki di desa Hama Parengu, Sumba Timur.
Tatto bermotif mahang atau singa menghiasi tangan seorang lelaki di desa Hama Parengu, Sumba Timur.

Di kota Tambolaka yang terletak di Barat Daya Pulau Sumba, pesawat saya mendarat. Beruntung bagi saya karena maskapai penerbangan Garuda Indonesia telah membuka rute baru sampai kota ini, sehingga penerbangan saya dari Jakarta bisa lebih mudah dan nyaman untuk dilewati. Penerbangan yang menempuh lebih dari 3 jam, tidak membuat lelah sama sekali karena antusiasme saya untuk mengeksplorasi keunikan Sumba. Tanpa berlama-lama karena waktu yang terbatas, saya pun bergegas menuju ke bagian timur ‘Tana Humba’, begitu orang setempat menyebut tanah ini.

Dari kota Waingapu perjalanan yang merupakan bagian dari Jelajah Visual #iniNegriku saya mulai, dari timur menyisir menuju ke bagian barat. Berbekal kamera NX1 keluaran terbaru dari Samsung dan ditemani Jonathan serta Angga yang merupakan orang asli Sumba juga Onggo, yang sudah lama tinggal di Sumba membuat petualangan ini menjadi jauh lebih asik sekaligus menarik. Tidak hanya bisa mengabadikan Sumba lewat foto namun bisa lebih memahami kehidupan orang sumba baik adat dan budaya lewat cerita-cerita mereka selama perjalanan ini. Photography is something but life is more interesting. Memang demikian, terkadang cerita-cerita kehidupan dibalik foto-foto yang kita ambil, terkadang terasa jauh lebih menarik.

Dari cerita mereka saya bisa lebih faham akan ”Bumi Marapu”, sebutan lain bagi ‘Tana Humba’ atau ‘Sumba’. ‘Marapu’ merupakan kepercayaan asli yang bersumber pada unsur pemujaan arwah nenek moyang yang dianggap sebagai hal yang sangat penting bagi orang Sumba. Selama menjelajahi Sumba seakan terbesit pesan, Sumba adalah pulaunya para arwah. Di setiap sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian. Altar megalit dan batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampung dan dusun (paraingu) seakan menyiratkan makna dan arti hidup bagi masyarakat Sumba.

Mengelilingi Sumba, kita akan banyak menemui rerumputan yang tumbuh di tanah tipis diatas batuan-batuan kapur yang bergelombang elok membentang. Kondisi fisik dan vegetasi inilah yang menciptakan Sumba menjadi sabana yang luas. Sangat cocok sebagai tempat pengembangbiakan dan pengembalaan kuda yang sudah menjadi identitas yang menyatu bagi orang Sumba. Tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi di beberapa desa, namun kuda merupakan sebuah simbol kekayaan dan status bagi orang Sumba. Bahkan kuda masih digunakan sebagai alat untuk meminang calon pengantin wanita.

Melihat Sumba rasanya tidaklah lengkap jika tidak menyaksikan festival Pasola. Pasola merupakan salah satu bukti kepiawaian pria Sumba menunggang kuda sambil berperang. Pasola juga merupakan bagian dari ritual masyarakat penganut kepercayaan Merapu untuk meminta berkah para dewa agar panen berikutnya berhasil baik.

Lima hari terasa begitu singkat untuk mengenal Sumba. Namun, lima hari yang akan begitu membekas. Lima hari yang telah membuat saya menjadi manusia yang berbeda dengan sebelumnya. Dan saya pikir begitulah esensi sebuah perjalanan, bukan perkara jauh atau dimana tempat itu berada, namun perjalanan yang menarik akan mampu menambah kekayaan batin kita, menjadi cara baru dalam melihat sesuatu. Terima kasih Sumba, dan gemerisik ilalang di padang serta ringkikan kawanan kuda mu, akan selalu terdengar, membisikkan rindu. Humba ailulu.

Anak-anak Sumba sedang mendengarkan cerita tentang kain Tenun.
Anak-anak Sumba sedang mendengarkan cerita tentang kain Tenun.
071000_3130076
Albina Ambo Kaka berpose dengan putranya Liebi Loro di rumah besar, kamapung adat Ratenggaro, Sumba Barat Daya.
Menikmati keramahan kampung adat Ratenggaro dengan berkumpul dan berbincang.
Menikmati keramahan kampung adat Ratenggaro dengan berkumpul dan berbincang.
101000_3120915
Peserta Pasola melempar lembing kayu ke arah lawan. Semangat pasola adalah kekeluargaan bukan permusuhan atau bahkan dendam.
111000_3120217
Waktu Pasola ditentukan oleh para tetua adat diikuti dengan datangnya cacing laut yang disebut dengan nyale.
121000_3120248
Saat musim cacing laut ini keluar dimanfaatkan oleh orang Sumba untuk mengumpulkan Nyale ini untuk dikonsumsi sebagai hidangan yang menarik.
Seorang bocah memandikan kuda di sebuah sungai di Sumba Barat Daya.
Seorang bocah memandikan kuda di sebuah sungai di Sumba Barat Daya.
Meriane Jahagada, duduk diantara Lekotoro (laki-laki) dan Merijahe (permbuan) di depan rumahnya di Desa Ratenggaro, Sumba. Lekotoro dan Merijahe adalah Kakek dan Nenek Meriane. Photo by Ahmad Zamroni

About Ahmad Zamroni

Ahmad Zamroni atau Roni, adalah fotografer yang tinggal di Jakarta. Dia memulai karirnya sebagai fotojurnalis di tahun 2002. Setelah delapan tahun terakhir menjadi editor foto Forbes Indonesia Magazine, Roni memutuskan menjadi fotografer lepas baik di ranah editorial maupun komersial. Roni merupakan co-founder www.1000kata.com dan www.hatikecilvisuals.com

Check Also

Pemenang Regional World Press Photo Contest 2024 

World Press Photo hari ini (3/4/2024) mengumumkan para pemenang regional Kontes 2024, yang menampilkan pilihan …

One comment

  1. Hallo 1000kata. Tulisan yang menarik tentang Sumba.. Terima kasih sdh berkunjung ke Sumba.
    Saya mohon ijin, mudah-mudahan diperkenankan untuk copy beberapa foto dalam tulisan ini untuk kepentingan promosi pariwisata Sumba. Salam.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.