Tantangan Fotografi Digital

Petak Sembilan,Jakarta, February 2010 (Dita Alangkara)

Pada sebuah diskusi fotografi, seseorang bertanya kepada saya “Mas, apa saja sih yang perlu dipelajari dari fotografi selain kecepatan, diafragma dan ISO?”

Pertanyaan sederhana itu membawa saya kembali pada saat saya belajar fotografi dasar. Selain kesulitan memahami kecepatan, diafragma dan ISO dan cara mengkombinasikan ketiganya untuk membuat efek-efek tertentu, kita waktu itu juga masih harus disibukkan dengan ‘upacara’ proses-memproses dan cetak-mencetak foto yang kalau diingat-ingat bukan perkara sepele juga. Mulai dari mikir mau pakai film apa, B&W atau color, nyari lab yang bisa ngasih diskon lumayan buat kantong cekak, tempat yang mas-mas operator lab-nya enggak rese kalau ditongkrongin dan dicerewetin kalau lagi nyetak foto (“Mas, cyan-nya tambahin dikit, yaaah.. kebanyakan, Mas… OK segitu pas… Eh, enggak, ding… Kurangin dikit lagi.), sampai deg-degan kalau foto andalan ternyata ‘nggak jadi’. Apalagi waktu belajar proses dan cetak sendiri di kamar gelap, kehebohannya bisa dua kali lipat.

Bolehlah saya agak sombong untuk mengklaim bahwa saya termasuk diantara orang-orang yang mengalami mengalami dua jaman dan merasakan transisi dari kamera film ke kamera digital dan saya juga bisa bilang pada adik-adik yang baru belajar motret sekarang, bersyukurlah bahwa hidup kalian sangat dipermudah dengan tidak perlu melalui segala kerepotan-kerepotan itu.

Secara umum, belajar motret sekarang seperti jauh lebih gampang. Segala kerepotan itu bisa dieliminasi. Nggak ada lagi acara bingung mau pakai film B&W atau warna atau. Pengen grain yang dulu cuma bisa didapat dengan film-film tertentu? Ngerubah tone warna sebelum nyetak? Pengen efek cross-processing? Ambil nafas panjang, tenang, sabar, santai… ada Photoshop. Photoshop nggak memberi solusi? Software-software lain banyak… dan murah (Bukan mendukung pembajakan tapi cuma sekedar berbagi realita). Nggak tau cara convert color ke B&W yang bagus? Tinggal google sebentar, beres.

Lalu, apa tantangan belajar fotografi sekarang kalau romantika-romantika analog itu sudah hilang?

Menurut saya, itu kembali kepada tiap ‘calon’ fotografer. Kemudahan dari sisi teknis, mestinya bisa diimbangi dengan kemajuan di bidang ‘content‘. Waktu berharga yang dulu habis buat cuci-cetak foto, mestinya bisa dicuri untuk belajar memberi nyawa pada foto. Bisa dengan browsing foto-foto punya fotografer senior, baca buku, majalah, atau koran dalam dan luar negeri (dan tentu saja menikmati foto-fotonya), diskusi dan nggak terhitung cara-cara lainnnya. Yang penting adalah belajar memahami perbedaan antara foto bagus dan foto biasa-biasa saja. Intinya, walaupun jaman sekarang hidup fotografer jadi lebih gampang, bukan berarti kualitasnya terus berkurang. Teknik-teknik dasar fotografi tidak berubah, mau fotografer dokumenter-lah, fotografer veteran perang Afghanistan-lah, fotografer kawinan-lah, semua sama. Panning pakai slow speed, freeze pakai speed tinggi, pakai bulb kalau mau dapat garis-garis cahaya lampu mobil di jalanan, dan lain-lain. Yang esensial adalah, setelah teknik-teknik dasar tadi dikuasai, so what? Kembali lagi ke awal paragraf ini: terserah tiap fotografer untuk belajar bagaimana caranya memberi makna dan nyawa pada foto-fotonya. (Dita Alangkara)

Jakarta, September 2010, Dita Alangkara

About Dita Alangkara

Dita Alangkara was born in Yogyakarta, 15 January 1975. Learning photography since 1994. He began to pursue photography professionally as a freelance photographer in some foreign media between 1998-1999. After that he joined The Associated Press bureau in Jakarta until now.

Check Also

Pemenang Regional World Press Photo Contest 2024 

World Press Photo hari ini (3/4/2024) mengumumkan para pemenang regional Kontes 2024, yang menampilkan pilihan …

6 comments

  1. apa tantangan tersulit dalam fotografi?

  2. Mantap mas…saya bisa belajar banyak dari tulisan mas…

  3. "Waktu berharga yang dulu habis buat cuci-cetak foto, mestinya bisa dicuri untuk belajar memberi nyawa pada foto,…" bener banget om dita. Salah satunya dengan melihat2 karya dirimu hehe… sukses om.

  4. Temen saya bilang, digital teknologi yang sangat 'cepat', kita cenderung 'miss' something.
    Memang ada yang harus di korbankan 🙂

  5. "terserah tiap fotografer untuk belajar bagaimana caranya memberi makna dan nyawa pada foto-fotonya."….saya suka kalimat mas dita ini…..

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.