Pelajaran Berharga dari Mentawai

Kuburan masal di desa Sabeu Gunggung, Pagai Utara, kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, Indonesia, 31 October 2010. MAST IRHAM


Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih Suci lahir dan di dalam batin Tengoklah ke dalam sebelum bicara Singkirkan debu yang masih melekat.. Singkirkan debu yang masih melekat.. Anugerah dan bencana adalah kehendakNya Kita mesti tabah menjalani Hanya cambuk kecil agar kita sadar Adalah Dia di atas segalanya..

Lirik lagu Untuk Kita Renungkan dari Ebiet G Ade terngiang di telinga saya. Entah karena kemampuan Ebiet menulis lirik memang menyentuh, atau karena seringnya lagu tersebut diputar sebagai backsong beberapa TV nasional sesaat sebelum berita bencana alam dibacakan.

Lagu tersebut semakin sering diputar seiring kerapnya bencana alam yang terjadi di negeri ini. Gunung meletus, tanah longsor, banjir, gempa bumi dan tsunami, semua ada di Indonesia, negeri yang berdiri di atas ‘Ring of Fire’ Bahkan saat saya membuat tulisan ini pun, sebagian saudara kita masih tinggal di pengungsian karena rumah mereka hancur terkena aliran lahar Merapi dan hantaman tsunami di Mentawai.

Sebagai fotojurnalis di European Pressphoto Agency (EPA), bencana sangat akrab dengan kehidupan saya. Puing rumah yang berantakan terkena gempa di Padang, ibu yang menangisi jenasah anaknya di Nias serta tatapan kosong anak-anak yatim piatu yang terpaksa hidup tanpa orang tua dan saudara setelah tsunami menerjang Aceh, adalah bayangan yang tak akan pernah lepas dari ingatan saya.

Tsunami di Mentawai yang terjadi (25/10) menjadi pengalaman penting bagi saya sebagai seorang fotojurnalis. Kesiapan mental dan gerak cepat menjadi faktor yang berperan besar kali ini.

Tidak seperti kondisi peliputan saya sebelumnya di sejumlah lokasi bencana, minimnya informasi dan data dari lokasi bencana di bagian pantai barat pulau Sumatra ini, membuat keputusan untuk berangkat ke lokasi menjadi hal sulit.

Keputusan mendadak terpaksa diambil setelah jumlah korban meninggal terus bertambah hingga mencapai lebih dari 100 orang. Perintah untuk berangkat yang keluar pukul 16.30 membuat saya secepatnya menyambar ransel ‘siaga bencana’ yang selalu siap sedia di kantor EPA Jakarta, dan berangkat menuju bandara Soekarno-Hatta.

Beruntung saya tidak sendiri. Bantuan kawan saya sesama fotojurnalis, Achmad Ibrahim dari kantor berita AP yang sampai di bandara lebih dulu dan memastikan tiket, langsung menurunkan sedikit tensi darah saya saat berusaha menembus kemacetan Jakarta mengejar jadwal check-in pesawat terakhir menuju padang. Bantuan seperti ini akan selalu kita butuhkan dari seorang kawan. Terlebih saat berada di daerah bencana.

Seorang anak buah kapal melihat keadaan di bawah guyuran hujan di sekitar pulau Pagai Selatan, kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, Indonesia. MAST IRHAM

Kendala Transportasi

Kendala transportasi adalah tantangan paling sulit yang harus dihadapi di Mentawai. Lokasi kepulauan Mentawai yang jauh dari pulau induknya, Sumatera, ombak yang tingginya lebih dari 4 meter, serta cuaca yang tidak bersahabat, membuat saya dan beberapa teman harus memutar otak untuk mencapai lokasi bencana.

Dengan usaha dan kerjasama, akhirnya saya, Boim, Yetha kameraman APTV, Lucky Pransiska fotojurnalis Kompas dan Taufiq fotojurnalis majalah Tambang berhasil mencapai lokasi dan mengirimkan foto-foto pertama yang diambil secara profesional.

Meski, untuk bisa mengirimkan foto-foto pertama inipun kami harus melewati badai dengan ombak setinggi lebih dari 5 meter. Ada kelegaan saat perahu yang kami tumpangi merapat di kota kecamatan Sikakap dan foto-foto tersebut berhasil dikirim.

Namun keganasan ombak Mentawai tidak berhenti sampai di situ. Hari-hari berikutnya kami lalui dengan sulit. Ombak laut yang besar, membuat para relawan yang bekerja mendistribusikan bantuan, termasuk kami, para pewarta foto yang bertugas meliput, harus bekerja ekstra keras untuk mencapai lokasi yang terkena bencana.

Hingga pada hari keempat, setelah terjebak badai di lautan selama kurang lebih 10 jam, kami terpaksa bermalam di atas perahu. Badai hari itu terlalu besar untuk ditembus.

Untunglah, kami, (Saya, Boim, Bay Ismoyo fotojurnalis AFP, Berto Wedhatama fotojurnalis The Jakartapost, Djati Darma reporter SCTV dan Yanto Sukma kameraman SCTV ditemani tiga orang anak buah kapal yang kehabisan makanan dan minuman, berhasil ‘selamat’ setelah bertemu kapal yang mengangkut bantuan dari Palang Merah Indonesia (PMI).

Segelas mie instan dan sedikit nasi malam itu, terasa begitu nikmat di tengah kegelapan laut dan guncangan ombak Mentawai yang biasanya menjadi surga bagi para surfers. Ombak yang ganas itu bahkan sempat membuat kami mengetatkan kalung ID presscard yang kami pakai untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk.

Lucky yang sebelumnya memutuskan untuk tinggal di Sikakap, sibuk melapor ke posko bencana karena kami tidak kunjung kembali dan tidak juga memberi kabar. Kami baru tahu belakangan bila pada saat yang sama, rombongan relawan dan jurnalis televisi ANTV juga kehilangan kontak karena badai. Dua kabar itu benar-benar melengkapi kepanikan yang terjadi di posko Sikakap.

Setelah semalaman berlindung dari badai yang cukup besar, kami berhasil kembali ke Sikakap keesokan harinya. Kami bersyukur akhinya bisa melonggarkan ID presscard kami, bahkan melepaskannya setelah merapat di dermaga Sikakap.

Sungguh sebuah pengalaman yang sangat berharga. Meski mendebarkan dan cukup membuat nyali kami ciut, pengalaman ini jauh lebih baik dibanding nasib Epin (10), bocah Mentawai yang kehilangan ibu dan dua orang kakaknya. Atau Nadia (4) yang kehilangan ibu dan kakaknya setelah ombak tsunami menghancurkan desa mereka.

Satu hal yang saya catat, bencana bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Dan meski kadang membuat kita terus bertanya kenapa, namun seperti lirik karya Ebit G Ade, .. Adalah Dia di atas segalanya.. Berusahalah agar Dia tersenyum… Semua terjadi karena kehendak-Nya. (Mast Irham/ 14 Desember 2010)

Sebuah foto aerial yang diambil dari helikopter MI-17 milik TNI angkatan darat memperlihatkan kondisi desa Tumalei, Pagai Utara, kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, Indonesia, 31 October 2010 yang hancur diterjang tsunami. MAST IRHAM
Hermina, seorang korban tsunami bersama anaknya berlindung dari debu yang beterbangan saat sebuah helikopter lepas landas di dekat puing-puing rumah yang hancur diterjang tsunami di desa Pororogat, Pagai Selatan, kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, Indonesia, 28 October 2010. MAST IRHAM

Pengungsi korban tsunami berjalan melewati puing-puing rumah yang hancur diterjang tsunami di desa Pororogat, Pagai selatan, kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, Indonesia, 28 October 2010.MAST IRHAM

Seorang pelajar menunggu perahu yang akan membawanya menyeberang ke sekolahnya di Sikakap, Pagai Utara, kepulauan Mentawai, Indonesia, 02 November 2010. MAST IRHAM

About Mast Irham

Mast Irham has been doing photography since he was a student at Communication Study at Sebelas Maret University in Solo, Central Java. Before he finished his undergraduate study, he had joined Antara news agency as a contributing photographer. After graduation, he worked for Media Indonesia newspaper until 2004, when he was chosen as one of the participants of photojournalism workshop organized by World Press Photo and Asia Europe Foundation in Hanoi, Vietnam. He later joined European Pressphoto Agency (EPA) in August 2004. During the more than 10 years of his career, Irham has been covering politics, economy, disaster, and sport events both in Indonesia and abroad. Among his notable experience were covering earthquake and tsunami in Aceh, and Bali bombing. His foreign assignments include Aung San Suu Kyii release in Myanmar, Australian Open tennis tournament in Melbourne, Australia, and earthquake in Nepal, Brazil's World Cup. Irham is now EPA chief photographer for Indonesia.

Check Also

Pemenang Regional World Press Photo Contest 2024 

World Press Photo hari ini (3/4/2024) mengumumkan para pemenang regional Kontes 2024, yang menampilkan pilihan …

31 comments

  1. BlogSahabatBerbagi

    Terima kasih sekali atas artikelnya. Saat ini kita bersyukur sekali karena Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral telah mengidentifikasi wilayah-wilayah rawan gerakan tanah, gempa bumi, dan tsunami di Indonesia. Seperti dirilis dalam http://bit.ly/1hXBdIF , sekurang-kurangnya ada 19 wilayah yang telah teridentifikasi.

  2. Nevertheless, it is possible to still get these high-end hand luggage at discounted price ranges because of on the internet browsing. Trading web sites like eBay and Craigslist let men and women to promote their new or pre-owned hand bags at decrease charges than getting it within a retail retailer. A pre-loved trend purse that’s well looked after will appear equally as fantastic as when it was new.

  3. cerita yang mendebarkan ….saya sempat merasakan ganasnya medan di sana masss…ciuuuut

  4. dedikasi tingkat tinggi para jurnalis..salut !

  5. wihdan hidayat

    Mantap mas…secuil kisah di belakang foto…jalan Tuhan

  6. Perjuangan yang sungguh luar biasa. Kita sebagai pembaca kadang hanya mengagumi karya foto yang kita lihat, tanpa tahu proses mendapatkannya. Mantab Pak….sukses selalu.

  7. dewi nurcahyani

    meaningfull…
    thanks for sharing.
    sukses terus yo bro!

  8. wow, foto yg menawan 🙂 thx sudah berbagi 🙂

  9. pelajaran buat semua yang bekerja dalam tekanan bencana mas…
    thx foto-foto&sharingnya…

  10. laut memang ganas.. Alhamdulillah para jurnalis masih dalam lindungan Allah, bisa menyebarkan berita dan bantuan segera datang

  11. Pengalaman yang tidak akan terlupakan (insyaAllah)
    makasih mas sudah ditulis jadi lebih mudah mengingat peristiwa itu 🙂

  12. hafidznovalsyah

    hmmmm…..saya banyak belajar dari tulisan ini mas…..nuwun

  13. selalu suka dengan begini

  14. Cerita menarik dibalik pembuat berita. Mantap bg irham,sukses…
    cheers…

    • Thanks Ded, ditunggu partisipasinya ya..tolong ajak juga anak2 Medan buat berbagi cerita dan karya, biar nggak kering kita kerja melulu 😉

  15. Kisah yang menarik, terima kasih sudah berbagi…

  16. Terima kasih atas sharing foto dan field notes nya 🙂

  17. awesome !!!

  18. Menyentuh banget.. thx for sharing

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.