Perempuan yang jadi fotografer, atau fotografer yang kebetulan perempuan?

Demonstrasi mahasiswa menuntut penuntasan skandal century di depan gedung DPR/MPR. Foto: Eka Nickmatulhuda

Suatu sore di Goethe Haus, seorang pewarta foto muda berbakat hanya menegur sekadarnya saat saya menghampirinya untuk memberi salam. Di akhir percakapan yang sarat dengan basa-basi, dengan penuh pertimbangan dia menyatakan, “Menurut gue, profesi ini ga cocok buat perempuan. Bukan apa-apa, gue kasihan aja, cewe harus gotong-gotong peralatan yang berat kaya kamera. Mending cari kerjaan lain aja deh.” Saat itu saya hanya melongo mendengarnya. Speechless.

Walaupun saya belum puluhan tahun menjadi pewarta foto, tapi pendapat itu cukup sering saya dengar. “Apa sih, yang mau lu buktiin?” biasanya itu inti pertanyaan yang diajukan. Sayangnya, saya tidak mampu memberi penjelasan yang akan pernah cukup. Akhirnya saya hanya bisa tertawa.

Meskipun isu diskriminasi gender masih santer terdengar dalam profesi ini, saya cukup beruntung karena tidak pernah merasakannya. Atau mungkin saya saja yang terlalu bebal untuk merasakan itu kalaupun memang ada. Saya justru sering merasa beruntung dengan menjadi fotografer yang berjenis kelamin perempuan.

Ada beberapa tempat yang akan lebih mudah bila diakses perempuan. Rasa “tidak enak hati” untuk menolak perempuan juga sering saya manfaatkan. Modal tampang bloon dan letih karena menggotong-gotong kamera yang berat, kadang sangat bermanfaat. Menjadi manipulatif tidak selalu negatif.

Memang ada oknum di antara teman-teman fotografer yang tidak tahu caranya menghargai perempuan. Tapi biasanya, orang itu juga tidak tahu cara menghargai orang lain pada umumnya. Jadi karena kebetulan saat itu yang tidak dia hargai adalah perempuan, isunya jadi lebih sensitif.

Rumahsakit Jose Fabella manila
Suasana rumah sakit bersalin Jose Fabella di Manila, Filipina, khusus bagi warga kurang mampu. Foto: Eka Nickmatulhuda

Lima tahun saya bekerja di Koran Tempo dan atasan saya selalu memberi porsi liputan yang sama dengan teman sekantor saya yang pria. Demo hayuk, fashion show oke. Toh, secara estetika, foto itu hanya dinilai bagus atau tidak, dan tidak ada penelitian ilmiah yang menyimpulkan, hasil foto perempuan dan pria berbeda secara signifikan. Cara pendekatan kepada obyek foto, tidak jauh berbeda. Bahkan kadang teman fotografer pria ada yang lebih manis meminta obyeknya bergaya saat foto profil, dan hasilnya oke. Cara melihat obyek atau event dengan angle yang beda dan menarik, adalah buah pengalaman, bukan urusan ‘buah dada’.

Selama bertugas sebagai pewarta foto harian saat masih menjadi stringer Tempo, saya malah mendapat banyak kemudahan dari teman-teman pewarta foto yang berjenis kelamin laki-laki. Tidak jarang saat foto rebutan, mereka malah melindungi saya agar tidak tergencet. Kadang malah terlalu mendramatisir dan menggunakan momen saya jatuh untuk cari ribut dengan petugas keamanan. Semua saya nikmati.

Saat ini saya melihat cukup banyak perempuan muda yang memulai karirnya menjadi photojournalist, alias pewarta foto. Sekedar sharing, saya hanya mengingatkan, selama enjoy menjadi pewarta foto, teruslah berkarya dengan sebaik-baiknya. Jangan down kalau ada yang bilang, “Lu perempuan siiih..” dan jangan juga berlindung dibalik alasan, “Kan gue perempuan..”

Be fair. Menurut saya, profesi ini adalah profesi yang murni dinilai dari karya-karya yang kita hasilkan. Prestasi membuat posisi orang tidak terbantahkan. Apapun bentuknya. Tapi jangan jadikan hasil sebagai tujuan. Cara kita menghadapi proses yang harus kita lewati, adalah indikator kita untuk mengukur kesuksesan. Lihatlah beberapa contoh pewarta foto perempuan senior seperti Enny Nuraheni dan Adek Berry. Mereka banyak kerja, sedikit bicara, dan dihormati oleh kalangan pewarta foto baik di Indonesia maupun Internasional.

Tablig akbar yang diselenggarakan oleh Majelis Rasulullah di masjid At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah. Foto: Eka Nickmatulhuda

Lalu, bernafaslah lega karena etika dalam foto jurnalistik, tidak dilihat dari etika berpakaian. Silahkan menggunakan tank top dan rok semini-mininya asal merasa nyaman saat memotret dan beraktifitas sebagai pewarta foto. Saya pernah menghadiri sebuah forum dengan Lisa Botos (mantan photo editor TIME) sebagai pembicara. Saat itu, dia duduk di depan dengan baju tipis, menerawang dan tanpa bra. Ngga ada tuh yang cerewet atau berani kurang ajar di forum itu. Bukan hanya karena teman-teman fotografer adalah orang santun yang maklum dengan budaya barat yang anggap itu hal biasa, tapi juga karena posisi Lisa Botos yang saat itu penting di mata peserta forum.

Jadilah diri sendiri. Tapi jangan sampai hanya sensasi yang melekat di identitas kita. Karya-karya foto adalah yang menjadi KTP kita di dunia foto jurnalistik. Dan menjadi perempuan hanyalah kebetulan yang menyenangkan. Bahkan, dengan banyaknya fotografer perempuan, akan membuat dunia foto jurnalistik Indonesia menjadi lebih berwarna. Karena teman-teman pria hanya mampu pakai kaus hitam, sementara yang perempuan bisa pede abis dengan baju pink, kuning cerah, merah merona, ataupun biru lembut. (Eka Nickmatulhuda)

Eka Nickmatulhuda A freelance photojournalist based in Jakarta, Indonesia. Currently, she was represented by OnAsia Images photo agency. Her works had been published in Readers Digest (Asian edition), Weekend Australian Magazine, Discovery Channel UK, Asia Views, Tempo English Edition, Jakarta Globe, Travelounge and other media publications in Indonesia.

About 1000kata

1000kata adalah portal yang dikelola oleh 10 fotografer Indonesia, sebagai media alternatif untuk menampilkan karya, cerita, ide, opini, gagasan serta yang lainnya berkaitan dengan dunia fotografi. Mari berbagi.

Check Also

Pemenang Regional World Press Photo Contest 2024 

World Press Photo hari ini (3/4/2024) mengumumkan para pemenang regional Kontes 2024, yang menampilkan pilihan …

21 comments

  1. Yudha Lesmana Pohan

    inilah wanita yang "gila" itu.
    saking gilaknya lah anda mencintai fotografi…
    saya suka ke"gila"kan anda..
    tetap semangat..

  2. "Selama enjoy menjadi pewarta foto, teruslah berkarya dengan sebaik-baiknya" Quote menarik, terus bekarya ya 😀

  3. Keren, mbak..inspiratif banget. saya jagi nggak ragu untuk milih fotografi sbg bidang yg ingin saya tekuni serius. Meskipun saya ada di kota kecil, yg sangat jarang ada fotografer perempuan ky' mbak…

  4. tob….

  5. Diposedicigp8

    paradigma jaman suharto tuh kalo masih ngebedain gender. kan udah ada program kesetaraan gender dari dulu. ketauan kalo yang nyela kaga pernah ikutan pkk :mrgreen:

  6. waduuuhh…tersinggung nih…aku cuma punya kaos warna item; belum punya buah pengalaman dan gak punya buah dada nih hahahaha…
    besok beli ah kaos warna pink…
    hahaha…Sharing yang bagus sekali, mbak Eka! membuat kita sedikit banyak masuk dan melihat dunia para bidadari fotografi indonesia!

  7. jurnalista perempuan favoritku..tegas-cerdas dan yg pasti sangat adaptif utk belajar banyak hal baru

  8. saya belum pernah mengalami perlakuan diskriminatif seperti itu. mungkin lantaran saya belum pernah motret yg ekstrim2, seperti mbak huda. mungkin juga lantaran tampilan luar saya yang ngga mirip perempuan. :p

    yg jelas tulisan ini bikin saya makin semangat motret, bukan karena saya pengen ngebukti'in sesuatu karena emang ga ada yg perlu dibukti'in. tapi lantaran saya memang suka dan ngerasa kalo fotografi adalah passion saya. 🙂

    semangat buat fotografer perempuan Indonesia. cheeers!

  9. met kenal mb'Eka, satu kata aja….."HIDUP PEREMPUAN"….hehehhehe….saya bangga menjadi perempuan dan idem dengan tulisan di atas…. 🙂

  10. keren maksudnya 😀

  11. mba Ekaaaa, lama tak berjupa, msh inget aku ^_^
    tulisannya keran 🙂

  12. @ Eka….hahahah kalo sayang pastilah……Bercinta dan berkarya…..hahahahahah

  13. Top Markotop Mbak yuu…
    Terimalah kecupan hangat dari ku untuk srikandi srikandi Pewarta Foto Indonesia.:D

    cheers

  14. oh darl, this is good stuff!!! mmuuaaaahhh!!!

  15. @bahana : Jgn bersaing aja ya.. istrinya juga penting tuh disayang-sayang. ehm. @paimosmith : melamar kok next time.. kamfrett! hihi..
    tengkyu all.. tetap semangat!! 🙂

  16. hafidznovalsyah

    "Karya-karya foto adalah yang menjadi KTP kita di dunia foto jurnalistik". – kereeeeen…makasih mbak

  17. Kalian memang luwar biyasa… sukses terus buat para pewarta foto yang 'ayu-ayu'….

  18. Kamu pancen "Nyoto" nduk cah ayu…next time kulamar kau…

  19. Eka….keren sist. Betul sekali, ini masalah buah karya bukan buah dada. Gw mau share ini ke istri. Dalam beberapa penugasan, istri gw fotonya keren banget, dan gw harus akui jika tidak belajar lagi bisa kalah. dan ini menjadi persaingan bebas. Pekerjaan atau lebih tepatnya -isme ini ini tidak mengenal jenis kelamin. jika tidak kuat untuk menhasilkan foto yang baik…maka tergilaslah……Terima kasih atas pencerahannya eka….

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.