Multimedia dalam APFI 2017

Penjurian Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) sudah lewat lebih dari empat bulan tetapi masih ada sebuah catatan yang tertinggal yang ingin saya buka di sini. Meskipun ada lebih dari 5400 foto yang masuk untuk dipilih menjadi foto yang terbaik, buat saya secara pribadi, tahun ini APFI sangat jauh lebih menarik karena adanya 37 karya dalam katagori multimedia. Menjuri multimedia mendatangkan sebuah kesenangan dan harapan tersendiri bagi masa depan foto jurnalistik di Indonesia.  Di dalam komposisi juri, sebenarnya hanya Eddy Hasbi dari Kompas yang sangat menguasai tehnis pembuatan media berplatform baru ini.  Saya dan teman-teman lain hanyalah penggembira yang mungkin dianggap punya kelebihan pengalaman saja. Asiknya, Eddy Hasbi banyak memberi masukan kepada kita semua para dewan juri sebelum proses penjurian multimedia dimulai.

Saya percaya multimedia akan semakin berkembang di beberapa tahun mendatang karena multimedia adalah makanan utama visual media online masa kini. Meskipun bentuknya belum (atau tidak) baku benar, inilah tontonan generasi masa kini karena dia punya cerita, punya visual dan suara di dalamnya. Sajian visual dipadu dengan suara yang bisa membangun cerita adalah bentuk yang dibutuhkan sebagai ‘makanan’ gadget. Identik dengan fotografi sebagai makanan koran pada masa lalu.  Saya yakin, pada masanya, fotografi hanya akan menjadi bagian dari multimedia. Dia tak lagi berdiri sendiri.

Secara personal, dalam penjurian ini, saya berkiblat pada hasil multimedia yang dimuat dalam World Press Photo dan multimedia beberapa media terkemuka dunia, seperti NYT, Guardian, dll, serta pekerjaan multimedia yang saya lakoni di tempat bekerja. Tahun mendatang, saya yakin koran dan majalah akan makin susut jumlahnya,  itu hanya konsumsi manusia-manusia tua berumur di atas 50 tahun, hehehe.  Meskipun juga masih jadi konsumsi penjual kacang rebus di lampu merah jalan raya.

Mungkin 37 karya tidaklah terlalu banyak, tetapi untuk tahun pertama APFI jumlah ini sudah lebih dari cukup.  Di dalam 37 karya ini ternyata ada banyak karya bermutu di dalamnya.  Ada sekitar 10 karya  yang mutunya jauh di atas rata-rata, meski akhirnya kami para juri menyisakan 5 karya menarik untuk menjadi perdebatan di babak akhir penilaian. Karya-karya itu adalah Arti Sebungkus Nasi karya Clara Prima (Opini.com) , Adu Bagong karya Kurniawan Masud (suara.com), Sebelum Kampung Tergusur karya Ramdani (media Indonesia),  Suharti Srikandi Pantura karya Roderik Adrian Moses (kompas.com), dan Mempertahankan Rawajati karya Kristianto Purnomo (kompas.com) .  Masing-masing karya ini punya kelebihan dan kekurangan sendiri.

Karya Roderik Adrian Moses yang berjudul Suharti Srikandi Pantura adalah karya yang menghadirkan suasana dengan kesegaran baru. Cerita ini menampilkan seorang Polisi wanita kocak, yang menyadarkan bahwa saat bertugas sebagai polisi di jalanan, ia juga masih seorang ibu. Kelemahan dari story yang menghadirkan suasana segar ini, selain bentuknya yang belum lengkap sebagai multimedia ia juga tidak dibangun dari cerita yang kuat.  Cerita yang dibuat Ramdani “Sebelum Kampung Tergusur” masih jauh lebih kuat. Meskipun kisah ini  mirip romantika masa lalu, tetapi ia mewakili makin terpinggirkannya masyarakat miskin dari megahnya ibukota. Mereka menyerah pada makin tingginya indeks biaya hidup yang harus mereka tanggung.

Kristianto Purnomo dalam “Mempertahankan Rawajati” membuat sebuah karya dengan nilai jurnalistik sangat kental. Bangunan kisah penggusuran ini dibuat dari foto dan video dengan  teknis tinggi dibalut dengan suara yang menjadi tulang belakang cerita dengan editing rapi. Kisahnya menghasilkan tontonan yang menyedihkan. Sayangnya cerita—yang bisa menjadi salah satu patron bentuk multimedia—ini panjangnya 4menit 55 detik. Melebihi  ketentuan lomba APFI 2017 bahwa panjang cerita multimedia tidak lebih dari 3 menit. Kristianto Purnomo sendiri mengakui ia mengikutsertakan cerita dengan durasi lebih dari 3 menit karena berharap panitia lebih longgar dalam aturan waktu, “karena ini kan baru pertamakali diadakan dalam APFI.” ujarnya  Dalam proses akhir, semua juri merasa berat harus menyingkirkan karya bagus ini dari panggung 3 besar.

“Adu Bagong” karya Kurniawan Masud dibuat dengan teknis fotografis yang matang.  Penggabungan foto, video, dan suara digabung dalam editing yang rapi. Apalagi ditampilkan dalam balutan hitam putih, membuat cerita ini menjadi klasik, seperti klasiknya kisah Adu Bagong di tanah Pasundan. Kurniawan Masud mengakui: “Ini adalah project perdana multimedia saya, belajarnya ya pake referensi youtube. Sudah lama ngebet banget bisa bikin multimedia apalagi kalau lihat sajian multimedia yang backsoundnya bisa membawa suasana ke dalam ceritanya.”

Clara Prima membuat cerita pendek satu menit dengan judul Arti Sebungkus Nasi. Cerita ini sederhana tetapi kuat. Yang membuatnya menarik, Clara tidak mendatangi sebuah peristiwa lalu membuatnya menjadi liputan. Ia menciptakan cerita. Ia menggabungkan pengamatannya sendiri  di media sosial tentang kecenderungan orang memamerkan makanan di sosial media dengan kenyataan bahwa tidak semua orang punya makanan enak.   “sering lihat orang eksis dengan makanan enak lalu posting makanannya. Ada gak ya yang kepikiran bagaimana makanan orang susah? kata Clara. Ia berangkat dari teori dasar bentuk photo story bernama juxtaposition.  Dengan begitu ia sekaligus menunjukkan sebuah vibran yang amat luas tentang  bagaimana orang memperlakukan makanannya. Yang menjadi nilai lebih karena cerita ini diciptakan dari pengamatan yang jeli dalam sosial media.

Kelima karya di atas bisa menjadi patron seperti apa multimedia sebaiknya dibuat. Meski bentuknya belum baku benar (dan saya yakin akan lebih beragam)  tetapi karya-karya di atas bisa menjadi panutan bagi kita semua untuk belajar bersama-sama mengembangkan multimedia dengan baik.  Sehingga bentuk ceritanya akan makin mendekati apa yang dibutuhkan dunia media berlandaskan kebutuhan gadget, bukan kebutuhan media cetak.

 

salam,

Beawiharta

Beawiharta, Reuters Photojournalist, Member 1000kata. Lahir 21 Juli 1964 di Jember, Jawa Timur. Ia Menyelesaikan studi di IKIP Malang pada tahun 1988 kemudian menjadi pewarta foto pada tahun 1991. Pernah bekerja di Majalah Suasana, Majalah Sinar, Tabloid olahraga GO, Majalah Gatra dan kantor berita Reuters biro Jakarta sejak 1999 hingga sekarang, dengan area liputan Indonesia, East Timor, Singapore, Thailand, Malaysia, Phillipina, China, Pakistan dan Afghanistan. Bea juga berpengalaman menjadi mentor workshop fotografi di berbagai tempat termasuk, Galeri Foto Jurnalistik Antara, Permata Photojournalist Grant dan World Press Photo class di Jakarta Tahun 2002. Menjadi juri foto dalam berbagai lomba foto dan mendapatkan penghargaan berbagai lomba foto di Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Hong Kong. Twitter: @beawiharta Instagram: @beawiharta

About 1000kata

1000kata adalah portal yang dikelola oleh 10 fotografer Indonesia, sebagai media alternatif untuk menampilkan karya, cerita, ide, opini, gagasan serta yang lainnya berkaitan dengan dunia fotografi. Mari berbagi.

Check Also

Menelusuri Labirin Kotagede

Para pencinta fotografi menikmati kehangatan warga Kotagede. Mereka memasuki ruang-ruang personal dan menjadi bagian dari warga.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.