Eksil

Tiga lelaki ini adalah Ibrahim Isa, Chalik Hamid, dan Sarmadji. Mereka adalah tiga orang eksil 1965 yang sudah sangat terbuka atas identitas diri mereka. Sebelum tahun 1965, Sarmadji adalah seorang guru yang dikirim ke Tiongkok untuk mempelajari bagaimana pendidikan di luar sekolah yang diterapkan di Tiongkok. Chalik Hamid, seorang sastrawan muda yang bergabung dengan organisasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dikirim ke Albania untuk mempelajari sinematografi, dan Ibrahim Isa adalah seorang delegasi muda yang diutus sebagai Indonesian Permanent Representative at the Permanent Secretariat of the AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidrity Organization) pada 1960-1966 di Kairo.

Pasca peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 1965, keadaan politik nasional memanas. Militer mengambil alih pemerintahan dan petinggi PKI ditangkap, bahkan beberapa di antara mereka dieksekusi tanpa melalui persidangan. Operasi yang dilakukan militer itu pun tak hanya mendera anggota PKI dan underbow-nya, tapi juga terhadap orang-orang yang bertalian dengan pemerintahan Soekarno, para simpatisan, dan tentu saja pemuda-pemuda yang mengikuti beasiswa di negara-negara berpaham sosialis. Para delegasi yang berada di luar negeri tidak luput dari operasi yang mengatasnamakan pembersihan terhadap paham komunis di Indonesia. Paspor mereka dicabut alias ti­dak berlaku lagi dan jika pulang ke tanah air, mereka langsung ditangkap.

Kondisi itulah yang menyebabkan banyak dari pemuda yang mengikuti program beasiswa itu tidak dapat kembali ke Indonesia. Mereka hidup sebagai orang eksil di luar negeri. Mereka memilih tidak kembali karena rezim militer melakukan represi yang luar biasa. Cap sebagai komunis itu tidak hanya dikenakan kepada mereka, tapi juga kepada keluarga dan keturunan mereka yang masih tinggal di Indonesia. Para eksil 1965 hidup bertahun-tahun tanpa kewarganegaraan di banyak negara seperti Rusia, Rumania, Albania, Tiongkok serta Kuba. Saat mereka hidup tanpa identitas yang legal tersebut, negara-negara yang mereka tempati mengalami gejolak politik yang mengakibatkan kondisi perekonomian negara tersebut menjadi tidak stabil. Maka pada era 1980-an, sebagian dari mereka berimigrasi ke Jerman, Belgia, dan Belanda. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah orang eksil yang tinggal di Belanda. Namun, jumlah mereka diperkirakan ratusan. Meskipun para eksil itu sudah menjadi warga negara Belanda dan beranak pinak di sana, mereka tidak pernah melupakan tanah kelahiran mereka, Indonesia.

Harapan yang tersisa dari mereka yang kini sudah tua, pemerintah Indonesia memberi pengakuan bahwa telah terjadi penyimpangan sejarah. Mereka tidak meminta kompensasi materi atas penderitaan mereka akibat tragedi 1965 yang telah memakan begitu banyak korban secara fisik dan moral. Mereka hanya mengharapkan permintaan maaf dari pemerintah atas keterbuangan mereka sebagai anak bangsa. (Rosa Panggabean / Antara Foto)

 

IBRAHIM ISA
Ibrahim Isa, pria bersuku Minang tersebut tinggal di kairo sebagai perwakilan dari AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidrity Organization). Pada Januari 1966, Isa berbicara sebagai delegasi Indonesia dalam konferensi Trikontinental di Kuba. Setelah ia berbicara dalam konferensi tersebut, ia menjadi eksil karena pemerintah Indonesia menganggapnya sebagai agen Gestapu. Dari Kuba, Isa pun mengungsi ke China, dan kemudian pindah ke Belanda pada 1987.

 

CHALIK HAMID
Chalik Hamid, lahir di Sumatera Utara pada 16 Mei 1938. Ia adalah anggota Lekra yang kemudian di kirim ke Albania, eropa Timur. ANTARA FOTO

 

SARMADJI
Sarmadji (83), pria asal Solo itu dikirim ke Tiongkok untuk mempelajari pendidikan luar sekolah untuk anak-anak. Sarmadji mempunyai prinsip mengubah kesedihan menjadi kekuatan.

 

PE_RosaPanggabean_Eksil04
Ini adalah surat-surat dari istri pertama dan sanak saudara Chalik Hamid di Sumatera Utara. Keberadaan para eksil 65 berawal dari Gerakan Satu Oktober 1965. Mereka menyatakan diri sebagai Soekarnois dan tidak mau mengakui pemerintahan orde baru.

 

rumah tinggal
Mereka yang kemudian “stateless” mencoba melamar sebagai warga negara di berbagai belahan Eropa, salah satunya Belanda. Sebagai warga negara Belanda, mereka mendapat jaminan sosial.

 

PE_RosaPanggabean_Eksil06
Setelah bertahun-tahun bertahan hidup di negeri orang, beberapa dari mereka berkumpul untuk sekedar silaturahmi tanpa berbincang tentang politik. Namun mereka tetap memberi perhatian pada perkembangan Indonesia.

 

PE_RosaPanggabean_Eksil07
Pernak-pernik Indonesia masih dapat ditemui di rumah para eksil 65, seperti kalender Indonesia yang ia letakkan di dinding rumah Chalik Hamid.

 

PE_RosaPanggabean_Eksil08
Beberapa dari mereka bahkan tetap berusaha menyajikan makanan Indonesia setiap hari.

 

PE_RosaPanggabean_Eksil09
Aktivitas para eksil 65 kini beragam, salah satunya adalah yang dilakukan Sarmadji, yaitu mengklasifikasi dokumen yang ia terima dari berbagai sumber mengenai sejarah 1965-1966.

 

 

PE_RosaPanggabean_Eksil10
Mereka hidup layaknya orang Eropa, namun masih merasa Indonesia di dalam hati.

 

 

Photographer:

Rosa Panggabean, fotografer yang bekerja sebagai pewarta foto Antara. Tertarik pada banyak hal terutama tentang manusia. Instagram @otcha_je | twitter @just_ocha.

About 1000kata

1000kata adalah portal yang dikelola oleh 10 fotografer Indonesia, sebagai media alternatif untuk menampilkan karya, cerita, ide, opini, gagasan serta yang lainnya berkaitan dengan dunia fotografi. Mari berbagi.

Check Also

Pemenang Regional World Press Photo Contest 2024 

World Press Photo hari ini (3/4/2024) mengumumkan para pemenang regional Kontes 2024, yang menampilkan pilihan …

One comment

  1. Excellent essei pictures

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.