Denting Koin Yang Terlupakan

“Memotret menggunakan ponsel itu sejatinya menyenangkan dan tanpa beban, jadi jangan dibikin repot. Jangan khawatir kalau foto kita tidak punya kedalaman ruang, grainy, lightingnya bocor-bocor dan warnanya ngaco. Justru ketidaksempurnaan-lah yang memberi jiwa pada foto-foto ponsel.” – Dita Alangkara

Orang-orang yang mengalami era 90-an, termasuk saya, pasti punya banyak kenangan bersama telepon umum. Anak Baru Gede mengantri telepon umum untuk menghubungi gebetan di malam Minggu, misalnya, pernah jadi pemandangan lazim.

Di daerah perumahan, titik-titik di mana telepon umum berada juga pernah menjadi tempat nongkrong favorit untuk pengojek. Orang bisa menghubungi telepon umum di lokasi itu untuk meminta tukang ojek langganannya menjemput ke rumah.

Di masa jayanya, sulit bagi bagi kita untuk membayangkan bahwa suatu saat nanti kita akan hidup tanpanya.
Seiring berkembangnya teknologi telekomunikasi, apalagi setelah makin mudah dan murahnya akses layanan seluler, telepon umum-pun ditinggalkan penggunanya.

Kepraktisan telepon seluler (ponsel) mengalahkan telepon umum yang statis. Kita dimanja oleh kepraktisan ponsel yang memungkinkan kita untuk menelepon sambil melakukan aktivitas lain : belanja, nyetir, jogging, memandikan anak dan lain-lain.

Belakangan, kemampuan ponsel untuk ‘memotret’, mengirim email dan ‘berinteraksi’ lewat sosial media semakin melejitkan produk teknologi yang satu ini ke puncak daftar alat penyampai pesan.
Telepon umum pun dilupakan orang. Benda yang dulu menjadi kebanggaan warga, kini teronggok menjadi monumen tak berguna di sudut-sudut kota.

Dekil dengan kabel tercerabut, kadang tidak terlihat karena tertutup tanaman liar.
Tidak terdengar lagi denting koin yang dulu akrab di telinga. Telepon umum yang penuh kenangan, kini membisu. Terdiam bersama jutaan pesan yang pernah dikabarkannya. Selamat tinggal telepon umum…

Foto dan Teks oleh : @DitaAlangkara

01

0203

04

05

0607

0809

10 11

 

 

 

 

About Mast Irham

Mast Irham has been doing photography since he was a student at Communication Study at Sebelas Maret University in Solo, Central Java. Before he finished his undergraduate study, he had joined Antara news agency as a contributing photographer. After graduation, he worked for Media Indonesia newspaper until 2004, when he was chosen as one of the participants of photojournalism workshop organized by World Press Photo and Asia Europe Foundation in Hanoi, Vietnam. He later joined European Pressphoto Agency (EPA) in August 2004. During the more than 10 years of his career, Irham has been covering politics, economy, disaster, and sport events both in Indonesia and abroad. Among his notable experience were covering earthquake and tsunami in Aceh, and Bali bombing. His foreign assignments include Aung San Suu Kyii release in Myanmar, Australian Open tennis tournament in Melbourne, Australia, and earthquake in Nepal, Brazil's World Cup. Irham is now EPA chief photographer for Indonesia.

Check Also

Menelusuri Labirin Kotagede

Para pencinta fotografi menikmati kehangatan warga Kotagede. Mereka memasuki ruang-ruang personal dan menjadi bagian dari warga.

7 comments

  1. iya kangen juga sama telepon umum mas hehe

  2. wah keren mas keren, 🙂

  3. Sedap bang Dita…..

  4. Terima kasih, Safir,belajar fotografi dan @prajnamu

  5. Fasilitas publik yang dianggap tak ada… Kejam sekali ya…

  6. Luar biasa artikelnya kena banget mas.
    Suka dg kalimat ini “ketidaksempurnaan-lah yang memberi jiwa pada foto-foto ponsel”

  7. inspiratif mas

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.