APFI 2019: Sisi Kemanusiaan yang Mengusik Perhatian

(Photo of The Year 2019 dan General News single, Juara 1) Tim Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau biasa dikenal dengan BASARNAS, mengevakuasi Nurul (15) dari tumpukan material, akibat gempa bumi dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia, Minggu (30/09/2018). Bencana alam tersebut tidak hanya menghancurkan bangunan, tapi juga menewaskan ribuan warga. MUH Fahrur Rasyid/Freelance

Oleh: Lucky Pransiska

Professional photographers are vital. Without them, the world’s conscience will wither. They bear witness for all of us.

Kutipan di atas diambil dari sebuah artikel yang berjudul “Pictures That Change History: Why the World Needs Photojournalists“. Artikel ini ditulis David Rohde, Editor Investigasi dan Keamanan Nasional Reuters.

Di tengah banjir visual di jejaring media sosial, karya foto jurnalistik terhimpit di antara fakta dan rekayasa. Tidak jarang hal-hal “receh” atau kebohongan dipercaya dan menjadi bahan pembicaraan berhari-hari lamanya, sementara persistiwa faktual yang penting justru terkucil tak mendapat ruang.

Apa yang dikatakan James Estrin, fotografer New York Times, bahwa ada begitu banyak foto sehingga begitu sulit sebuah foto untuk menonjol dan mendapat perhatian. Bahkan ketika foto tersebut menjadi viral, itu pun hanya berlangsung selama 24 jam.

Foto jurnalistik merupakan bukti otentik kesaksian pewarta foto dalam sebuah peristiwa dan oleh karenanya foto jurnalistik selamanya akan tetap kontekstual sesuai momentum dan waktunya.

Sepanjang tahun 2018 beragam peristiwa penting terjadi di tanah air. Rekaman peristiwa ini tergambar melalui karya foto yang dikirimkan ratusan pewarta foto di tanah air kepada panitia Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2019.

Sebagian besar foto yang masuk dalam proses penjurian mencerminkan sisi kelam Indonesia. Tak bisa dipungkiri dalam kurun tahun 2018, bencana alam terjadi berulang kali. Erupsi Gunung Anak Krakatau dilanjut tsunami di Banten, Gempa di Lombok, serta gempa, tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah. Peristiwa ini tumpang tindih dengan peristiwa kebakaran lahan dan hutan di Sumatera, pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah secara serentak dan perhelatan akbar Asian Games di Jakarta.

Proses penjuruan awal terhadap 1550 karya foto tentunya kental dengan perspektif subjektif masing-masing juri terhadap setiap foto. Pada tahap ini merupakan proses menyaring foto-foto mana saja yang layak mengikuti penjurian pada tahap selanjutnya. Masing-masing juri belum diperbolehkan menyampaikan argumentasinya.

Namun perlu diingat, pada setiap penjurian dalam kontestasi foto apa pun, sudah menjadi hukum alam, foto yang serupa akan “dipertarungkan” untuk memperoleh posisi sebagai foto terbaik. Lebih khususnya Anugerah Pewarta Foto yang sudah dikelompokan berdasarkan kategori masing-masing.

Foto-foto yang bersaing ketat dan harus “bertarung” keras dalan APFI 2019 yaitu foto pada kategori Spot News dan General News. Foto tsunami di Banten, gempa di Lombok dan Likuefaksi di Sulawesi Tengah adalah foto bencana alam yang dimaksud saya dalam kategori serupa itu. Sebagai juri, saya tidak melihat runutan waktu terjadinya tiga peristiwa itu dalam menentukan penilaian, karya mana yang layak dipertahankan. Dari tiga persitiwa serupa ini, saya hanya mempertimbangkan dari segi nilai berita, dampak peristiwa dan tentunya eksekusi visual. Gempa, tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah sudah tentu mewakili kriteria yang saya maksud di atas.

Argumentasi ini saya sampaikan berdasarkan pertimbangan data dari BNPB. Jumlah korban mencapai 2.081 orang meninggal dunia, lebih dari 1.000 orang hilang dan ratusan ribu warga mengungsi. Bahkan hingga proses penjurian diselenggarakan, persoalan pengungsi belum tuntas.

Berdasarkan pertimbangan enam juri lainnya, empat karya foto terbaik yang merekam peristiwa di Sulawesi Tengah itu masuk sebagai nominasi dalam tiga kategori, baik Single maupuan dalam Photo Story.

Meski secara subjektif saya melihat keempat karya foto itu relatif memiliki pendekatan yang serupa. Namun saya pribadi menganggap bencana alam di Sulawesi Tengah harus mendapat tempat di APFI 2019. Pertama, karya foto ini sebagai pengingat (kembali) persoalan mitigasi bencana yang lemah dan penanganan tanggap darurat yang lambat. Penjarahan massal di Sulawesi Tengah cerminan lambatnya penanganan. Kedua persoalan pengungsi yang hingga kini belum terselesaikan, bagaimana nasib tanah mereka yang hilang tergulung berkilo-kilometer jauhnya, serta persoalan pelik lainnya menyangkut lokasi huntian tetap pengganti, persoalan kesehatan, ekonomi dan sosial pengungsi dan lain sebagainya.

Kembali pada proses penjurian, kesulitan dewan juri memilih foto terbaik justru ada pada kategori Art and Entertainment terutama untuk foto Single, karena pilihan foto yang representatif setelah memasuk penjurian tahap akhir, nyatanya tidak lah banyak pilihannya. Pilihan dimaksud yaitu foto yang memiliki kekuatan visual dan pesan.

Pada kategori photo story Environtment and Nature saya pribadi melihat ada salah satu foto yang menggunakan pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang sederhana namun foto itu disajikan dengan sebuah pertanyaan akan keterlibatan audiens terhadap dampak lingkungan yang disebabkannya itu. Sementara foto lingkungan lain masih didominasi isu ancaman satwa liar dan perusakan lingkungan. Foto-foto kategori ini seakan sebuah foto pengulangan atas peristiwa yang terjadi pada tahun sebelumnya dan foto serupa juga masuk dalam nominasi APFI 2018. Namun justru itulah sebetulnya potret persoalan lingkungan di Indonesia yang tak kunjung beres dan berulang setiap tahunnya.

Hal baru yang saya pribadi lihat ada pada kategori People in The News terutama untuk photo story. Ketiga karya foto yang masuk menjadi nominasi tak satu pun merupakan foto mengenai figur publik. Namun saya melihat foto berhasil mengangkat sisi kemanusiaan yang dieksekusi dengan baik oleh fotografernya.

Tiba pada penentuan foto terbaik, waktu menunjukan sekitar pukul 00.30 WIB. Perdebatan dewan juri tertuju pada dua foto terbaik pada peristiwa yang sama. Foto bencana tentunya mendapat perhatian serius dari dewan juri. Kedua foto ini memiliki pesan yang sama-sama kuat namun mengemasnya dari perspektif yang berbeda. Satu foto menonjolkan sisi kemanusiaan dalam proses penyelamatan dan foto lain memperlihatkan potret manajemen tanggap bencana yang buruk. Saya pribadi mempertahankan foto kedua dengan pertimbangan foto kedua merupakan potret penanggulangan bencana yang buruk yang seharusnya tidak terjadi. Foto ini merupakan pesan keras kepada otoritas terkait yang menggambarkan sebuah fakta bahwa negara tidak hadir pada saat bencana terjadi. Beberapa dewan juri sependapat untuk mempertahankan foto kedua namun diskusi kembali terjadi. Dewan juri kemudian meminta panitia membacakan keterangan kedua foto secara lengkap. Argumentasi dan diskusi dewan juri pada akhirnya sepakat memilih foto terbaik APFI 2019. Dengan banyak pertimbangan termasuk pertimbangan dari salah satu juri Devie Rahmawati, Peneliti Sosial Vokasi Universitas Indonesia, yang memberikan perspektif lain diluar perspektif visual dan news value. Terpilihlah Photo of The Year APFI 2019.

(General news, Single, Juara 2) Seorang perempuan bersama anaknya sedang menyebrang di jembatan tali di kawasan Geumpang Pidie, Provinsi Aceh, Rabu (12/12/2018).Sebagian masyarakat masih menggunakan jembatan tali untuk menyebrang sungai, mengingat jembatan beton sedikit jauh dari lokasi rumah masyarakat yang masih acak dan berjauhan satu sama lain. Riza Azhari/Geunta.com
(General News, Single, Juara 3) Seorang anak dirawat di RSUD Agats, Papua, karena menderita campak, Jumat (12/1). Sepanjang Januari ini RSUD Agats melayani 34 pasien rawat jalan dan 29 pasien rawat inap penderita campak. Kemarin, tiga dari lima belas pasien campak di RS tersebut diperbolehkan pulang ke rumah. Kompas/Wisnu Widiantoro 12-01-2018
(Spot News, Single, Juara 1) Warga terpaksa mengambil berbagai keperluan logistik di gudang milik toko swalayan Alfa di Mamboro, Palu Utara, Sulawesi Tengah, Senin (1/10/2018). Warga diwilayah Palu Utara hingga Donggala bagian pantai Barat terpaksa mengambil berbagai kebutuhan tersebut karena bantuan, Basarnas, Posko pengaduan dan tenda pengungsian belum sampai. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
(Spot News, Single, Juara 2) Korban kecelakaan bus Asli Prima di Gerbang Tol Cikupa, Tangerang, Banten, Minggu (13/01/2019). Bus Asli Prima yang melaju dari arah Jakarta keluar jalur menabrak truk yang melaju menuju Jakarta. Akibat kecelakaan ini dua orang luka berat dan belasan lainnya luka ringan. Kristianto Purnomo/Kompas.com
(Spot News, Single, Juara 3) Anak perempuan berswafoto dengan latar belakang kepulan asap saat kebakaran kapal ikan di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, Senin (9/7/2018). Puluhan kapal ikan hangus terbakar dalam peristiwa kebakaran yang terjadi sekitar pukul 02.00 WITA. Nyoman Hendra Adhi Wibowo/ANTARA FOTO
(Sport, Single, Juara 1) Pipiet Kamelia merayakan kemenangan usai mengalahkan Thi Cam Nhi Nguyen dari Vietnam. Pipiet merebut emas ke-12 untuk Indonesia dari cabang pencak silat di Kelas D Putri (60-65 kg), dalam Asian Games 2019, di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (29/8/2018). Chaideer Mahyuddin/AFP
(Sports, Single, Juara 2) Atlet loncat indah Cina, Qiu Bo beraksi saat final Loncat Indah Putra 10 meter Platform pada ajang Asian Games ke-18 tahun 2018 di Aquatic Centre Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Sabtu (1/9/2018). Hariandi Hafid/SOPA IMAGES
(Sport, Single, Juara 3) Atlet Para-cycling Indonesia, M. Fadli Immamuddin, mendapat kecupan hangat dari istrinya usai mengalahkan atlet Malaysia, Mohd Najib pada babak final Men’s Individual Pursuit 4000 meter, di Jakarta International Velodrome, Jumat (12/10/18). M. Fadli berhak atas medali emas. Herry Ibrahim/INDOSPORT
(Art and Entertainment, Single, Juara 1) Model terjatuh saat memeragakan busana rancangan sekolah mode dalam Esmod Jakarta Fashion Art Vibes (FAV) di Museum Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (1/8/2018). FAV merupakan kompetisi busana yang terbuka untuk para pemula, dan terbagi ke dalam kategori umum serta mahasiswa. Melalui gelaran ini, mereka dapat menunjukkan hasil karya terbaiknya ke publik. Susanto/Media Indonesia
(Art and Entertainment, Single, Juara 2) Warga menggotong penari yang kesurupan seusai menampilkan Tari Rejang Sandat Ratu Segara di Tanah Lot, Tabanan, Bali, Sabtu (18/8/2018). Pementasan tari yang melibatkan 1.800 penari tersebut merupakan rangkaian pemecahan rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) dengan peserta Tari Rejang Sandat Ratu Segara terbanyak. Nyoman Hendra Adhi Wibowo/ANTARA FOTO
(Art and Entertainment, Single, Juara 3) Ribuan warga berebut angpao dan ikan di Umbul Cina,Desa Gemblegan, Kalikotes,Klaten,Minggu (16/09).Kegiatan ini dalam rangka tradisi tahunan Lebaran Ikan di desa tersebut.Arief Budiman/ Radar Solo
(Environment, Single, Juara 1) Foto udara letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12/2018). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan, telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau, di Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 17.22 WIB, dengan tinggi kolom abu teramati mencapai 1500 meter di atas puncak, atau sekitar 1838 meter di atas permukaan laut. Nurul Hidayat/Bisnis Indonesia
(Envitonment, Single, Juara 2) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan pemadaman kebakaran lahan dari udara/ water bombing dengan menggunakan helikopter, di Desa Rambutan, Kabupaten Ogan ilir, Sumatra Selatan, Senin (17/9/2018). Untuk sementara waktu, sebagian warga harus mengungsi karena asap dari kebakaran lahan dapat mengganggu kesehatan. Luas kebakaran lahan tersebut diperkirakan mencapai ratusan hektar. Abriansyah Liberto/Tribun Sumsel
(Environtment, Single, Juara 3) Penutupan lahan, penebangan hutan, dan pembangunan perkebunan untuk produksi minyak sawit di Papua bagian selatan, Indonesia, pada 31 Maret 2018. Permintaan dunia untuk minyak sawit berdampak buruk pada alam dan kehidupan di dalamnya, contohnya yang terjadi di Indonesia, sebagai salah satu produsen terbesar minyak sawit di dunia. Hutan-hutan di Indonesia sedang digunduli secara besar-besaran, demi membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Dengan berkurangnya area hutan di Sumatra dan Kalimantan, Papua menjadi harapan terakhir bagi bangsa ini. Papua memiliki tiga puluh juta hektar hutan dan merupakan salah satu hutan dengan keberagaman hayati terbesar di dunia. Namun, saat ini hutan di Papua sedang terancam oleh hadirnya perkebunan kelapa sawit, industri, dan pertambangan, yang melakukan penebangan hutan dengan begitu cepat, sehingga memperburuk perubahan iklim. Ulet Ifansasti/Greenpeace
(People in the News, Single, Juara 1) Seorang pria dari Suku Dani mengikuti Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB) 2018 di Wamena, Papua, Indonesia, Selasa (7/8/2018). Suku Dani merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah Pegunungan Tengah Papua, khususnya Kabupaten Jayawijaya, serta sebagian Kabupaten Puncak Jaya. Hariandi Hafid/SOPA IMAGES
(People in the News, Single, Juara 2) Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, memberikan keterangan kepada awak media terkait perkembangan dan penanganan bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, di Graha BNPB, Jakarta, Selasa (9/10/2018). Sutopo dikenal sebagai humas yang sangat aktif dan dekat dengan awak media, karena selalu cepat memberikan informasi mengenai perkembangan penanganan bencana yang terjadi di tanah air. Ismail Pohan/Indopos
(People in the News, Single, Juara 3) Sri Astuti (44) menangis di kaki Presiden Joko Widodo, karena rumahnya digusur oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero). Ini terkait dengan sengketa lahan yang terjadi di Balaraja, Serang, Banten, pada 14 Maret 2018. Jefri Tarigan/Freelance
(Citizen Journalism, Single, Juara 1) Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani memeluk keluarga korban jatuhnya pesawat terbang Lion Air JT 610. Pesawat dengan tujuan Jakarta-Pangkal Pinang tersebut, jatuh pada 29 Oktober 2018. Ada 21 pegawai Kementerian Keuangan yang menjadi korban. Paruhum Aurora Sotarduga Hutauruk
(Citizen Journalism, Single, Juara 2) Petugas gabungan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan relawan Palang Merah Indonesia (PMI), mengarungi banjir saat berupaya mengevakuasi seorang warga yang sakit, di Matang Kuli, Aceh Utara, Kamis (4/1/2018). Matang Kuli merupakan daerah yang kerap dilanda banjir karena maraknya aktivitas pembalakan liar dan terjadinya pendangkalan sungai. Akibatnya, saat musim penghujan tiba, kawasan itu menjadi daerah langganan banjir. Zikri Maulana
(Citizen Journalism, Single, Juara 3) Seekor beruk pemetik kelapa berada dalam perjalanan pulang di atas sepeda motor yang dikendarai sang pemilik; di Nagari Surantih; Kabupaten Pesisir Selatan; Sumatra Barat. Di beberapa wilayah Sumatra Barat; beruk dipekerjakan untuk memanen atau memetik buah kelapa. Muhammad Ikhsan
(Photo Story, Art and Entertainment, Juara 1) RITUAL PERANG OBOR PENGUSIR SENGKALARitual perang obor merupakan upacara tradisional yang digelar sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas anugerah panen dan dijauhkannya sengkala atau penyakit yang berlangsung turun-temurun di Desa Tegalsambi, Jepara, Jawa Tengah. Pelaksanaan perang obor menggunakan perhitungan kalender Jawa/ Arab, yaitu jatuh pada Senin Pahing, malam Selasa Pon di Bulan Zulhijah. Namun, persiapan perang obor dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya, mengingat perlengkapan dan biaya yang diperlukan. Pembuatan obor yang cukup banyak, menggunakan bahan utama blarak (daun kelapa kering) dan klaras (daun pisang kering). Selain itu, sesaji juga dipersiapkan, di antaranya untuk para leluhur, pendiri desa, dan penyebar agama. Bentuknya berupa kerbau jantan yang disembelih dan diolah, kemudian nasi, ketupat, jajanan pasar, dan bubur warna-warni.Sebelum perang dimulai, prosesi bermula dari ritual pelepasan dari kediaman kepala desa. Rombongan pasukan obor diawali oleh petinggi Desa Tegalsambi. Sementara peserta perang obor ini adalah laki-laki penduduk Tegalsambi, berusia minimal tujuh belas tahun, sehat jasmani dan rohani, serta tidak mudah emosi. Obor hanya boleh dipukulkan ke obor lawan, bukan tubuh, dan harus dari arah depan. Dalam peristiwa ini, bunga api pasti memercik ke mana-mana, dan bisa mengenai pemain atau penonton. Luka tersebut lalu diobati dengan minyak khusus, yang terbuat dari kelapa dicampur bunga telon.Selain pelestarian nilai-nilai leluhur agar tidak terkikis oleh budaya modern, tradisi tersebut juga bertujuan untuk mempererat ikatan persaudaraan masyarakat desa. Di samping itu, perekonomian warga juga ikut terangkat karena banyaknya wisatawan dari luar kota yang hadir untuk menyaksikan ritual tersebut. Yusuf Nugroho/Antara Foto
(Photo Story, Art and Entertainment, Juara 2) BLIND DATE CINEMALantunan musik hampir memenuhi sudut ruangan, menyambut hangat para penyandang tunanetra yang datang ke Paviliun 28 untuk mengikuti kegiatan nonton bareng (nobar). Paviliun 28 merupakan kafe di kawasan Jakarta Selatan, yang di dalamnya terdapat bioskop bernama Blind Date Cinema. Bioskop tersebut dibuat khusus bagi para penyandang tunanetra untuk dapat menikmati tayangan film secara bersama-sama, layaknya sebuah bioskop pada umumnya. Oleh karena itu, Blind Date Cinema juga memiliki layar lebar dan kualitas suara yang bagus. Hanya saja, kapasitas bioskop ini terbatas bagi empat puluh orang.Lalu, bagaimana cara kerjanya supaya mereka benar-benar dapat mengikuti alur cerita dari film yang sedang ditayangkan? Ternyata ada sejumlah relawan yang siap mendampingi mereka, begitu film dimulai. Relawan-relawan ini bertugas untuk menceritakan adegan apa yang terlihat di layar. Masing-masing relawan bertanggung jawab untuk membisiki satu peserta nobar. Mungkin Anda akan membayangkan betapa berisiknya bioskop ini. Namun, ternyata suara riuh yang sangat jelas terdengar, malah membuat suasana di dalam bioskop itu menjadi harmonis.”Sekarang, adegannya memperlihatkan sepasang kekasih yang sedang berjalan sambil bergandengan tangan,” ujar salah seorang relawan pada mitra tunanetranya. Ekspresi wajah penonton tunanetra itu pun silih berganti, membayangkan adegan film melalui kata-kata yang didengarnya.Dari kemitraan dan keharmonisan yang tercipta, sebuah kisah unik bahkan terjadi antara seorang lelaki bernama Kiki, yang pernah mendampingi peserta tunanetra bernama Alen. Kemitraan tersebut berujung pada hubungan asmara di antara keduanya. “Ya, seperti inilah Mas rasanya cinta buta, hehehe,” ujar Alen usai menonton.Keterbatasan karena tidak dapat melihat bukan berarti seseorang tidak mempunyai harapan. -Rivan Awal Lingga/Antara Foto
(Photo Story, Environment, Juara 1) Dua janin anak harimau yang ikut mati bersama induknya akibat terjeratJERAT ANCAM SATWA LANGKADalam kurun waktu dua bulan, tepatnya di periode akhir 2018, dua satwa langka yaitu harimau dan gajah sumatra di Provinsi Riau, menderita akibat jerat yang melukai tubuh mereka. Peristiwa pertama terjadi pada Agustus 2018, di mana seekor anak gajah sumatra liar terjerat di kaki kanannya. Jerat itu mengoyak kaki depannya sampai ke tulang, sehingga membuat mamalia bongsor itu terpisah dari induknya. Meski akhirnya bisa diselamatkan dan dievakuasi ke Pusat Latihan Gajah Minas, sulit bagi anak gajah betina itu untuk dilepasliarkan lagi ke habitatnya, akibat terlalu lama terpisah dari kawanannya.Peristiwa yang terjadi satu bulan berikutnya di Kabupaten Kuantan Singingi, lebih tragis lagi. Seekor harimau sumatra liar mati mengenaskan akibat jerat kawat baja yang mencengkeram perutnya. Meski akhirnya pelaku telah ditangkap dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara pada Februari 2019, jerat itu telanjur merenggut tiga nyawa, karena satwa bernama latin Panthera tigris sumatrae itu tengah bunting besar. Hanya dalam hitungan hari, yaitu sekitar sepuluh hingga empat belas hari, hewan tersebut seharusnya bisa melahirkan. Seandainya dia selamat hari itu, maka dua anak harimau berkelamin jantan dan betina dapat terlahir, serta menambah populasi hewan langka ini. Harimau dan gajah merupakan satwa endemik di Pulau Sumatra, yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun, pada kenyataannya kehidupan mereka makin terancam punah, dan insiden penjeratan hanya sekelumit dari masalah yang sebenarnya sedang terjadi.Data Forum Konservasi Gajah Indonesia menyebutkan, populasi gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) menurun drastis hingga tujuh puluh persen, dalam kurun waktu dua puluh sampai tiga puluh tahun terakhir. Pada 2013 saja populasinya diperkirakan hanya sekitar 1970 ekor. – FB Anggoro/Antara Foto
(Photo Story, Environment, Juara 2) Sandal, shampoo sachet plastic, straw, plastic bottle cap are found on Kuta Beach, Bali, Indonesia, 2018. Apakah ini milik Anda?Matahari mengintip di balik cakrawala, dan suara hempasan ombak seakan menyapa mereka yang sejak pagi hari sudah mengunjungi Pantai Kuta, yang dikotori sampah. Masalah sampah di Bali memang sedang dalam kondisi terburuk, seiring dengan datangnya musim hujan, karena angin kencang mendorong sampah-sampah itu ke pantai. Pada musim ini pula, tumpukan sampah tersebut diangkat, yang melibatkan kerja sama antara pemerintah dan warga lokal. Mereka mengadakan kegiatan seperti ini secara reguler, dengan dibantu alat-alat berat. Menurut informasi dari media lokal, tiga ratus ton sampah plastik tiba di perairan Bali setiap harinya. Di bulan November, kondisi kian parah, sehingga pemerintah setempat harus menyatakan “darurat sampah”, di garis pantai sepanjang enam kilometer. Artinya, pantai populer seperti Jimbaran, Kuta, dan Seminyak, termasuk di dalamnya. Sesuai dengan artikel di Mongabay, sejak Maret sampai Oktober 2014, sebuah tim yang dipimpin oleh Dr. I Gede Hendrawan, peneliti dari Center of Remote Sensing and Ocean Sciences di Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, pernah mengadakan survei di sepanjang bibir Pantai Kuta, untuk mengetahui jenis sampah yang ada di sana. Hasilnya menunjukkan bahwa sampah di Pantai Kuta didominasi oleh sampah plastik, dengan konsentrasi rata-rata sampah mencapai 0,25 per meter persegi. Artinya, hal tersebut sama dengan 75 persen dari keseluruhan limbah. – Agung Parameswara
(Photo Story, Environment, Juara 3) Bayi orangutan Sumatera yatim piatu, Leo, duduk saat diberi makanan dan minuman di dalam sebuah rumah warga di kawasan Aceh Tamiang, Aceh, Indonesia. Sutanta Aditya/Freelance KONFLIK MANUSIA DAN ORANGUTAN: RIWAYAT KELAM LEOBerawal dari observasi melalui aplikasi Google Earth, saya menemukan data awal berupa gambar yang memperlihatkan adanya pembersihan lahan di titik koordinat N 04’09’1 7,1” E 05 7’50’09,2’’. Ini berarti terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Dengan keingintahuan itu pula, saya melanjutkan riset untuk memastikan penyebab dari tergerusnya salah satu paru-paru dunia ini. Berbekal citra satelit dan bantuan masyarakat, saya tiba di titik koordinat tersebut. Ternyata, ada sebuah perkebunan kelapa sawit yang telah beroperasi selama lebih dari tiga tahun. Tidak hanya sampai di situ, kehadiran perkebunan itu juga berkontribusi terhadap berkurangnya populasi orangutan sumatra. Salah satu korbannya adalah Leo, seekor bayi orangutan sumatra, yang hidup sebatang kara dan berada dalam pemeliharaan salah satu warga Kabupaten Aceh Tamiang, yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL dan Provinsi Sumatra Utara.Sesudah menerima informasi mengenai Leo, saya pun bergegas mendatangi rumah warga tersebut. Namun, upaya itu tidak langsung membuahkan hasil, karena saya tidak diberi akses untuk melihat bayi orangutan itu secara langsung. Setelah melalui dialog dan perjanjian yang cukup alot, akses itu berhasil saya peroleh. Saya tetap tidak bisa mendatangi kediaman warga yang memelihara Leo, jadi saya diharuskan menanti di kediaman warga lainnya, hingga bayi orangutan itu diperlihatkan kepada saya. Hal ini karena si pemelihara takut jika dirinya akan ditangkap aparat.Total empat jam, saya harus menunggu di sana. Akhirnya, seorang lelaki datang dengan membawa sebuah kotak kardus anti-nyamuk. Kemudian, ia meletakkannya di halaman rumah lalu pergi. Saat kotak itu dibuka, saya mendapati fakta yang sangat menyedihkan. – Sutanta Aditya
(Photo Story, General News, Juara 1) Ratusan narapidana menyaksikan temanya sesama narapidana yang tengah melakukan pertunjunkan musik secara kecil-kecilan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB, Lubuk Pakam, Deliserdang, Sumatra Utara, 6 Januari 2018. Ginting/beritagar.id MENANTI KEBEBASAN DI TAHANAN YANG SESAK Saat ini, hampir semua lembaga pemasyarakatan (lapas) yang ada di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas. Seperti di Lapas Kelas IIB Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatra Utara, di mana suasana sesak menjadi pemandangan sehari-hari. Ada 1600 warga binaan yang saat ini mendiami lapas tersebut, padahal lapas itu dibangun hanya untuk menampung 350 orang saja. Akibatnya, penjara itu penuh sesak, dan para penghuni lapas harus hidup berjejal di dalamnya. Untuk meluruskan kaki saja, mereka harus pintar-pintar mencari kesempatan. Dalam terali besi, ruang gerak mereka dibatasi. Untuk mandi, mereka harus berbagi dengan warga binaan lainnya. Lalu di malam hari, mereka harus tidur bergantian.Akibatnya, ada yang stres karena tidak mampu melewati hari demi hari di dalam lapas. Tak jarang, mereka kerap terlihat merenung dan menyendiri. Tidak hanya warga binaan, para petugas di sana pun mengaku bahwa saat ini, kondisi lapas sudah tidak nyaman dan aman lagi. Berbagai masalah yang kerap terjadi dinilai dapat memicu kerusuhan antar warga binaan, dan tentu saja kondisi itu membuat situasi di sana menjadi tidak lagi manusiawi. Kondisi lapas yang telah melebihi kapasitas ini telah disampaikan kepada pemerintah, tapi belum ada tanggapan. Baik warga binaan maupun pertugas, mereka berharap kondisi tersebut dapat berubah. Dengan demikian, warga binaan ini dapat menjalani hukuman sewajarnya. Hingga harapan itu bisa terwujud, mereka mencari cara supaya tidak tertekan oleh situasi sekitar. Menghibur diri dengan bermain musik dan bernyanyi merupakan dua hal yang sering mereka lakukan. Meski tidak terlalu leluasa seperti kehidupan di luar lapas, mereka sangat menikmati aktivitas tersebut. – Andri Ginting/Beritagar.Id
(Photo Story, General News, Juara 2) An aerial view of area affected by liquefaction in Balaroa village following the earthquake on October 6, 2018 in Palu, Central Sulawesi, Indonesia. Ulet Ifansasti/Getty ImagesGempa Bumi MematikanBencana tsunami dan likuifaksi yang dipicu gempa bumi magnitudo 7,5 menerjang pantai di Sulawesi, Indonesia. Lebih dari dua ratus ribu orang mengungsi, sementara jumlah korban jiwa mencapai lebih dari dua ribu orang, dan sekitar lima ribu orang dinyatakan hilang. Dikhawatirkan, mereka terkubur di antara lumpur dan reruntuhan. Seperti dikutip dari pernyataan pihak berwenang, jasad yang terkubur kemungkinan sudah membusuk dan sulit diidentifikasi. Oleh karena itu, upaya penanganan akan difokuskan pada mereka yang terluka dan mengungsi. Gempa yang terjadi pada 28 September 2018 tersebut, telah menimbulkan kerusakan masif di Palu, Sulawesi Tengah. Dibutuhkan setidaknya dua tahun untuk membangun kembali kota ini. Indonesia, yang terletak di kawasan Cincin Api Pasifik, menjadi lokasi berkumpulnya gunung-gunung berapi dan titik pertemuan dari sejumlah lempeng bumi. Ini juga yang membuat Indonesia rawan akan bencana alam. – Ulet Ifansasti/Getty Images
(Photo Story, People in the News, Juara 1) Menyelamatkan Asep dari Borgol JiwaJika boleh memilih, rasanya tidak ada manusia yang memilih nasib menjadi seseorang dengan gangguan jiwa. Lagi pula, siapa yang ingin jiwanya terganggu?Sama seperti Asep Kosasih (37). Ia tidak pernah menghendaki nasib seperti itu. Namun, akibat skizofrenia yang dideritanya, dia harus meringkuk, terpasung tak berdaya selama 22 tahun lamanya. Ini terjadi sejak usianya baru menginjak lima belas tahun.Asep hanya bisa meringkuk lunglai di atas dipan yang dilapisi kasur tipis yang kusam dan tak berbentuk. Tak ada satu helai kain pun yang membungkus tubuhnya yang kurus kering, seolah yang tersisa hanyalah kulit dan tulang. Di bagian kakinya, tampak jelas borgol rantai yang mengikatnya dan membuatnya tak bisa ke mana-mana.Sesekali rantai memang dibuka, tapi hanya saat memandikan Asep. Namun, karena gerak tangan Asep yang kian tak terkontrol saat disentuh atau diganggu, keluarga tidak lagi memandikan Asep hingga kini.Asep hanyalah satu dari belasan ribu orang dengan gangguan jiwa yang hidup terpasung. Laporan Human Rights Watch pada Oktober 2018 menyebutkan, ada 12.832 orang dengan gangguan jiwa yang mengalami pemasungan di Indonesia. Pemasungan kerap jadi jalan terakhir yang dipilih keluarga untuk mengatasi emosi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang tidak terkontrol. Adhi Wicaksono/CNN Indonesia
(Photo Story, People in the News, Juara 2) Kondisi fisik yang kian menurun, Umi Khulsum (88) seorang ianfu dicek kesehatannya oleh mahasiswi perawat yang sedang studi lapangan di kampungnya, Sukabumi. aru Biru IanfuSetelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 1945 dari pendudukan Jepang, ternyata masih ada luka yang dirasakan para perempuan yang dijadikan budak seks tentara Jepang, hingga sekarang. Ianfu, sebutan bagi perempuan-perempuan tersebut, tidak hanya menderita luka fisik, tapi juga batin.Sampai detik ini, jumlah perempuan yang menjadi korban, belum diketahui dengan pasti. Namun, Akademisi Yoshiaki Yoshimi menyebutkan angka sekitar 50 ribu hingga 200 ribu perempuan. Para ianfu ini datang dari berbagai bangsa, yaitu Jepang, Korea, Tiongkok, Thailand, Filipina, Myanmar, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Orang-orang Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, dan Portugis pun turut menjadi korban.Menurut Eka Hindra, peneliti ianfu, kala Jepang meluncurkan serangan di garis depan, mereka akan membawa para ianfu di garis terdepan. Seperti perempuan Jawa yang dibawa ke Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku. Mereka akan ditempatkan di ianjo, sebutan Jepang untuk rumah bordil yang tersebar di berbagai daerah. Tak hanya di ianjo, banyak juga ianfu yang diperkosa di tempat lain.Umi Khulsum adalah salah satu ianfu. Ia diculik tentara Jepang di Sukabumi dan dipaksa menjadi perempuan penghibur saat berusia belasan tahun. Umi Khulsum sempat bersembunyi di loteng rumahnya, tapi akhirnya tertangkap. Dua kakak perempuannya juga ikut menjadi korban.Dalam menuntaskan kisah perbudakan seksual, sepertinya Indonesia belum juga membuka mata. Tak seperti Korea Selatan dan Tiongkok yang menuntut Jepang untuk meminta maaf secara moril ataupun material. Potret Umi khulsum dan ianfu lainnya menjadi teguran kita semua untuk peduli akan kekerasan seksual terbesar di sepanjang masa. Hingga kini, para penyintas kian menua, beberapa telah berpulang dan belum berkesempatan menyaksikkan keadilan untuk ditegakkan. – Rahmad Azhar Hutomo
(Photo Story, People in the News, Juara 3) Undang (40) (left) and Nur Hayati (37) (right) with their three children, Marlina Santika (18) with her baby (second right), Kelvin Abdul Karim (10) (second left), and Winda Ayu Lestari (3) (center) photographed together at their home in Ciburuy Village, Pamalayan, Bayangbong, Garut, West Java, Thursday, December 27, 2018. Dhana Kencana/IDN NewsMereka Juga ManusiaKampung Ciburuy, Kabupaten Garut, Jawa Barat, menjadi daerah dengan tingkat kelahiran albino tertinggi di Indonesia. Kurangnya pigmen melanin pada rambut, kulit, dan mata, mengakibatkan kehidupan orang albino (albinisme) di daerah tersebut lebih sulit. Pasalnya, mereka rentan terkena paparan sinar matahari (daerah tropis), yang dapat menyebabkan kanker kulit dan kerusakan penglihatan yang parah.Mereka pun kerap menerima stigma sosial. Masyarakat sekeliling percaya bahwa apa yang terjadi pada diri orang-orang albino ini, terkait dengan sebuah kepercayaan dan mitos, yang dipengaruhi oleh hal-hal takhayul. Kondisi tersebut kemudian menumbuhkan marginalisasi bagi mereka.Namun, mereka masih diterima di lingkungan terdalam. Ialah keluarga yang masih terus mendukung dan menguatkan para albinisme. Diakui atau tidak, albinisme di kampung tersebut tidak semuanya lahir dari orangtua yang juga mengalami kelainan genetik tersebut. Namun, sejatinya mereka adalah makhluk Tuhan dan juga Warga Negara Indonesia (WNI), walau identitas tubuh mereka berbeda. – Dhana Kencana
(Photo Story, Spot News, Juara 1) Gelombang tsunami kedua sekitar pukul 18.28 WITA, begitu cepat menerjang wilayah Palu dan sekitarnya, Jumat, 28 September 2018_01Saat Gempa dan Tsunami MenerjangBelum lepas dari ingatan kita akan bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang melanda Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Usai diguncang gempa magnitudo 7,5, tsunami langsung menerjang beberapa wilayah di Palu dan Donggala, menghancurkan sejumlah fasilitas dan infrastruktur yang ada di radius ratusan meter dari pantai. Lebih dari dua ribu orang menjadi korban jiwa. Saat itu, banyak orang yang berusaha menyelamatkan diri dengan berlari ke tempat yang lebih tinggi. Ada pula yang terjebak di dalam gedung atau rumah. Sementara fasilitas rumah sakit rusak parah, sehingga pasien harus dievakuasi ke luar gedung. Selain mengevakuasi pasien, para dokter juga harus berjibaku menangani pasien korban gempa dan tsunami. Situasi diperburuk dengan lampu yang padam karena gardu listrik rusak, sehingga para petugas medis harus bekerja sambil diterangi senter. Tidak sedikit dari korban yang dirawat akhirnya meninggal dunia. Moh Rifki/Mercusuar
(Photo Story, Spot News, Juara 2) Selamat dari Maut Banjir yang merendam kawasan Desa Tambakrejo, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menyisakan kisah mendalam bagi Sugeng. Lelaki berusia 55 tahun, warga Desa Sumberdawesari, Kecamatan Grati, ini nyaris kehilangan nyawa akibat terseret arus banjir. Beruntung, ia berhasil diselamatkan oleh Sersan Satu Mohammad Waki, personil Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang menjadi satu-satunya orang yang berani menyelamatkan Sugeng dari ancaman maut.Banjir terjadi pada Kamis (22/2/2018). Pagi itu, Sugeng bersama warga sekitar sedang membantu petugas kepolisian mengamankan Jalan Raya Pantai Utara (Pantura) Bangil-Probolinggo yang terendam banjir. Pengguna jalan yang melintas terpaksa harus menggunakan tali tambang agar aman, karena air mengalir sangat deras.Di tengah upaya menyeberangkan warga, mendadak alat komunikasi (handy talky/ HT) seorang petugas kepolisian terjatuh ke dalam air. Mengetahui hal itu, Sugeng membantu untuk menemukannya. Nahas, ia malah terseret arus banjir. Warga yang berada di sekitar seketika panik. Namun, tak ada yang berani menolong. Sebagian dari mereka hanya bisa berteriak keras meminta pertolongan.Teriakan tersebut menarik perhatian Sertu Mohammad Waki yang kebetulan berada tidak jauh dari lokasi. Setelah mengetahui ada warga yang terseret banjir, tanpa pikir panjang, Bintara Pembina Desa Komando Rayon Militer (Babinsa Koramil) 819/ 25 Gadingrejo, Komando Distrik Militer (Kodim) 0819 Pasuruan itu nekat menceburkan dirinya ke dalam air.Dengan susah payah Waki berenang, menerjang derasnya banjir setinggi lebih dari 1,5 meter. Tanpa memedulikan nyawanya sendiri, ia terus berjibaku melawan kencangnya arus demi menyelamatkan korban. – Mokhamad Zubadilah
(Photo Story, Sports, Juara 1) Mendayung Prestasi di Antara Limbah Matahari belum terik, tetapi lima belas anak sudah basah oleh keringat, setelah melakukan latihan teknik mendayung di darat, di Pusat Latihan Olahraga Dayung Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, yang berada di tepi Kanal Banjir Timur (KBT), Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Sabtu (10/3/2018).Sejak Rabu sampai Minggu, anak-anak yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) tersebut, mendapat ilmu dayung dari sang pelatih, Qurratul Ayun, dan asisten pelatih, Thomas Hallatu, yang juga mantan atlet pemusatan latihan nasional (pelatnas) rowing.Dalam masa camp selama tiga bulan tersebut, mereka tinggal di asrama sehingga lebih memudahkan untuk berlatih rowing, kano, dan kayak.”Sulit mencari bibit atlet dayung di Jakarta,” kata pelatih yang akrab disapa Ayun. ”Kebanyakan anak Jakarta itu takut hitam. Jadi, syarat saya untuk anak yang mau jadi atlet cuma satu, tidak takut panas-panasan,” lanjut Ayun sambil terkekeh.Atlet-atlet muda yang berasal dari berbagai wilayah di Jakarta tersebut dilatih untuk mengikuti seleksi penerimaan calon atlet Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar DKI Jakarta, yang biasanya digelar pada Mei. Target berikutnya, mereka dapat mewakili DKI Jakarta pada Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) 2019 untuk kelas dayung. Seusai latihan darat, mereka masing-masing bergegas menggotong kano, kayak, dan rowing untuk dibawa turun ke kanal melalui dermaga sederhana yang dibuat khusus oleh mereka. Busa limbah yang memenuhi Pintu Air KBT Weir 3 Marunda langsung menyambut saat mereka bersentuhan dengan air. Totok Wjayanto/Kompas
(Photo Story, Sports, Juara 2) HANIFAN YUDANI KUSUMAH | Sudah sejak duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar, Hanifan, 20 tahun, belajar jurus-jurus silat di Perguruan Silat Tadjimalela, Bandung, Jawa Barat. Berkat kecintaan dan ketekunannya pada olahraga beladiri itu, ia tumbuh menjadi pesilat yang tangguh di setiap gelanggang tarung. Tak percuma ia mewarisi darah pesilat dari kedua orangtuanya, dalam Kejuaraan Dunia Pencak Silat ke-17 yang berlangsung di Denpasar, Bali, 2016 lalu, Hanifan berhasil merebut medali emas penuh gengsi. Hanifan yang turun di kelas C ini amat yakin dapat merebut medali. Baginya tak ada lawan yang harus ditakuti, karena sejatinya pesilat Indonesia adalah pendekar yang asli. Meski begitu, Hanifan, yang telah menargetkan pensiun di usia 35 ini, tetap waspada dan akan menunjukkan aksi dengan teknik tinggi dalam laga tarung di ajang Asian Games 2018. BISMO AGUNG/Beritagar.id
Multimedia Juara 1, Karya Ricky Julian/Media Indonesia
Multimedia Juara 2, Karya Ahmad Ridwan Nasution/Imajipertiwi.com
Multimedia Juara 3, Karya Abdul Aziz

About 1000kata

1000kata adalah portal yang dikelola oleh 10 fotografer Indonesia, sebagai media alternatif untuk menampilkan karya, cerita, ide, opini, gagasan serta yang lainnya berkaitan dengan dunia fotografi. Mari berbagi.

Check Also

Menelusuri Labirin Kotagede

Para pencinta fotografi menikmati kehangatan warga Kotagede. Mereka memasuki ruang-ruang personal dan menjadi bagian dari warga.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.