Fotografi Di Era Digital

Coretan-coretan protes yang dicurahkan oleh anak-anak kecil di sebuah tembok di Desa Mindi. Mereka berusaha menuangkan ekspresi protes pada PT Lapindo Brantas yang telah membuat rumah, sekolah, dan tempat bermain mereka terendam lumpur. Foto : Nizar ( peserta workshop fotografi Komunitas Korban Lumpur Lapindo)

Ada komentar yang akhir-akhir ini semakin sering saya dengar : Sekarang ini zaman digital, semua orang bisa memotret. Apakah Anda juga punya pendapat yang sama?

Memang, saat ini fotografi sudah tidak seeksklusif dulu. Kemajuan teknologi yang melahirkan kamera digital memberi kemudahan bagi semua orang untuk turut mencicipi aktivitas yang satu ini, memotret!

Suatu kali, saat libur, saya sempat mampir ke sebuah toko kamera di wilayah Jakarta Selatan. Oh-em-ji (OMG)… penuh sesak. Sejenak saya berusaha meyakinkan diri bahwa saya memang sedang berada di sebuah toko kamera, bukan berada di pameran batik di mana pengunjung biasa belanja dengan ‘kalap’.

Tak percaya? Datanglah ke pusat perbelanjaan di kawasan Casablanca, Jakarta. Hampir di setiap lantai ada toko kamera. Atau di tempat-tempat pariwisata atau event musik, budaya atau acara apa pun, semakin banyak orang menenteng kamera. Seringkali saya melihat kamera-kamera para pehobi jauh ‘melebihi’ kamera para professional (harganya yaa-catat).

Lumpur Lapindo yang menenggelamkan kawasan industri di Desa Ketapang RT 01. Akibat tenggelamnya pabrik-pabrik di kawasan ini, banyak warga yang kehilangan pekerjaan. Foto : Hamzah ( peserta workshop fotografi Komunitas Korban Lumpur Lapindo)

Belum lagi kalau kita memperluas bahasan ponsel-ponsel yang dilengkapi kamera. Di mana-mana kita melihat orang menghadap ponsel, mulai katagori biasa saja sampai ponsel pintar, dan memasang wajah dengan ekspresi yang gaul habis, mengerucutkan bibir, menutup salah satu mata atau membuat simbol V dengan jari telunjuk dan jari tengah. Singkat kata, sekarang ini fotogafi memang menjadi ‘mainan’ siapa saja.

Awal tahun ini saya mempersiapkan pameran foto Memori Bawah Tanah, hasil workshop fotografi Komunitas Korban Lumpur Lapindo, Porong yang diselenggarakan teman-teman Lafadl Initiatives, Yogyakarta. Selama ini mereka bergelut di penelitian isu-isu sosial kemudian menerbitkannya dalam bentuk laporan atau buku. Pokoknya, tidak ada sangkut pautnya dengan foto.

Baru kali ini mereka mengadakan aktivitas fotografi. Bersama tim kerja Malang Meeting Point (mamipo), saya menjadi fasilitator workshop dan mempersiapkan pameran foto yang berlangsung di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki, Jakarta bulan Januari 2011.

Pengunjung pameran memberikan pujian dan komentar positif terhadap foto-foto yang dipamerkan. Termasuk komentar dari fotografer profesional Sementara masyarakat awam akan bertanya, “Benar nih yang moto warga?” atau menegaskan kamera apa yang dipakai.

Berdasarkan pengalaman memfasilitasi workshop fotografi untuk publik, saya berpendapat bahwa semua orang punya kemampuan alamiah dalam membuat komposisi (estetika) ketika memotret. Selama mereka mau terbuka, merasa (to feel) dan berinteraksi dengan apa yang mau mereka potret, mereka mampu untuk menghasilkan foto-foto yang ‘berbicara’.

Sampai pada level dan untuk mencapai tujuan tertentu (tidak berhubungan dengan dunia profesi yang menuntut sikap profesional), setiap orang akan mampu memotret tanpa harus bersusah payah belajar teknik fotografi dan seluk beluk dunia fotografi.

Perkembangan teknologi kamera yang memberikan kemudahan publik mengakses fotografi membawa dampak secara langsung atau tidak langsung pada kita, sebagai fotografer profesional. Bagaimana kita memandang fenonema ini, bagaimana kita harus bersikap dan bereaksi ?

Mbah Tamun membantu adiknya yang terkena gangguan jiwa. Mbah Tamun tinggal di Desa Ketapang. Untuk menghidupi adik dan bibinya yang terkena dampak lumpur Lapindo, Mbah Tamun bekerja sebagai petani. Meskipun dalam keadaan serba kekurangan, Mbah Tamun tetap memperhatikan sanak saudaranya. Foto : Intan ( peserta workshop fotografi Komunitas Korban Lumpur Lapindo)

PELUANG DAN ANCAMAN

Filosofi ‘fotografi adalah bahasa’ diyakini oleh hampir semua praktisi fotografi. Bila setiap orang berhak untuk belajar bahasa tertentu yang disukai, tentunya semua orang juga berhak untuk belajar ‘bahasa visual’ fotografi. Setiap orang, mulai anak-anak, remaja hingga masyarakat umum, dari yang tinggal di perkotaan hingga tempat-tempat terpencil.

Semakin banyak orang mengerti fotografi dan bahasa visual, seharusnya semakin menyenangkan. Ternyata, fenomena ini tidak selalu membawa dampak positif. Ada pengaruh yang mengkhawatirkan juga, seperti persaingan harga yang tidak terkontrol, tidak semua fotografer mempunyai bekal etika dan keahlian teknis yang memadai ketika terjun di dunia profesi. Pengaruh-pengaruh yang membawa dampak negatif sehingga perkembangan fotografi di era digital dianggap sebagai ‘ancaman’.

Sepertinya tidak membantu jika kita hanya mengeluh dan melihatnya sebagai ancaman. Bagaimana kalau kita belajar melihat fenomena di atas sebagai peluang?

Semakin popular di kalangan masyarakat, fotografi akan semakin ‘membumi’. Mengutip istilah Mas Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah diskusi foto di Pasar Festival tahun 2009, fotografi akan menjadi semakin demokratis.

Saya pikir, salah satu tujuan menyelenggarakan pameran foto, apalagi zaman dulu di mana galeri hanya memamerkan lukisan, adalah mendekatkan fotografi kepada masyarakat luas. Sekarang fotografi semakin dekat dan popular di masyarakat, harusnya kita bergembira bukan?

Semakin banyak orang berkeinginan belajar fotografi. Semakin banyak dibuka tempat kursus untuk belajar fotografi. Membuka kesempatan yang lebih luas bagi bisnis pendidikan dan menjadi pengajar. Semakin ‘mudah’ dan terbuka kesempatan orang untuk menjadi fotografer termasuk menjadi pewarta foto.

Seperti kita ketahui, saat ini event lomba foto hampir selalu ada dengan hadiah yang tak kira-kira besarnya. Ini tidak mungkin terjadi, jika para pemilik uang dan yang praktisi bagian purel (kehumasan), tidak mengerti akan pentingnya peran fotografi. Semakin banyak orang berkecimpung di dunia bisnis menggunakan fotografi untuk promosi, yang paling mudah adalah dengan mengadakan lomba foto.

Perkembangan teknologi mendorong serbuan informasi yang melimpah. Kita cenderung menerima semua informasi yang disebar melalui media apapun, dari media cetak, elektronik, ponsel pintar, billboard di jalanan dan lain-lain.

Dalam situasi ini, kita dituntut multitasking. Terima telpon, membaca pesan pendek, pesan email yang masuk sambil duduk-duduk minum kopi dengan teman-teman atau meeting dengan klien.

Dalam situasi demikian, tentunya foto sebagai bahasa visual punya peluang berbicara lebih daripada teks. Penelitian juga menyebutkan bahwa manusia lebih mengingat visual daripada teks.

Sumur milik Ibu Tumi yang sudah tidak bisa dipakai karena airnya keruh dan berminyak. Sumur-sumur di Dusun Bringin, Desa Pamotan airnya sudah tidak layak untuk digunakan. Foto : Dyah( peserta workshop fotografi Komunitas Korban Lumpur Lapindo)

Seorang penulis mengungkapkan ‘kegelisahannya’ bahwa ia merasa teks kalah bersaing dengan visual di zaman yang serba multitasking ini. Ungkapan yang selama ini terbalik. Biasanya para pewarta foto selalu merasa dianggap sebagai warga kelas nomor dua di media tempat mereka bekerja.

Meski belum berlaku massif, namun kesadaran pentingnya fotografi juga tumbuh di masyarakat. Teman-teman aktivis yang sempat bekerja dengan saya mengundang saya untuk memberikan pelatihan pada staf dan mitra-mitra mereka. Mereka baru menyadari bahwa selama ini mereka luput untuk memperhatikan bagian dokumentasi visual organisasi. Mereka hanya berkonsentrasi pada pendokumentasian teks.

Itu hanya sebagian dampak positip yang saya rasakan begitu saja, tanpa melalui penelitian serius. Tentunya kita berharap popularitas fotografi akan membawa dampak yang lebih signifikan seperti perbaikan apresiasi terhadap fotografi dan pelakunya.

Patung Garuda Pancasila yang tidak terawat di sebuah rumah di Desa Siring Barat, RT 02 RW 01. Patung Garuda ini tidak terawat karena rumah tersebut ditinggal pemiliknya akibat rusak terkena lumpur Lapindo. Foto : Budi ( peserta workshop fotografi Komunitas Korban Lumpur Lapindo)

PERUBAHAN

Zaman berubah, termasuk fotografi. Sebuah kenyataan yang tidak bisa kita hindari. Zaman duluuuuuu sekali, saat memotret dengan mode pencahayaan manual, exposure atau pencahayaan yang tepat, sudah termasuk ‘pencapaian’.

Tidak semua orang bisa melakukan aktivitas di dunia fotografi. Perlu belajar sana sini, bahkan perlu pendekatan khusus jika harus bertanya pada fotografer yang pelit membagi ilmu. Seperti dalam dunia persilatan.

Sekarang ‘setiap orang’ mampu menghasilkan gambar dengan exposure yang tepat, komposisi yang oke, atau katakanlah ‘usable’ dalam sekejap. Kekurangan saat memotret, bisa dibenahi dalam proses ‘mengedit’, sebuah istilah yang seringkali saya pahami berbeda karena dalam pengertian saya, editing adalah pemilihan foto, bukan retouch foto.

Di tengah perubahan ini, di manakah Anda berpijak? Semakin teguh mengasah diri baik di dunia fotografi maupun sebagai individu, semakin lentur dan liat terhadap perubahan sehingga tetap berperan dan menjadi bagian dari perubahan ini? Berinovasi mencari strategi-strategi baru? Atau menganggap perubahan ini sebagai ‘kiamat’, cemas berlebihan dan kandas?

Pengalaman menarik saya adalah bertemu dua klien berbeda (dan baru). Mereka memberi penugasan pada saya setelah merasa ‘kapok’ dengan fotografer yang sebelumnya mereka ‘hire’. Komplain klien kedua adalah foto-fotonya ‘tidak bercerita’. Masak motret di Flores seperti motret di Bekasi, kata klien kedua.

Dari obrolan kami, saya menangkap ketidakmampuan fotografer yang dia kirim ke Flores adalah ‘telling stories’. Foto-foto tidak memperlihatkan ke-khas-an lokasi. Klien pertama mengeluh karena fotografer yang dia kirim ke lokasi banjir tidak tahu harus melakukan apa. Bingung mau bagaimana dan motret apa. Artinya, ketika sudah berbicara fotografi sebagai profesi, tidak ada tempat untuk ‘trial and error’.

Saya pribadi lebih setuju untuk melihat perubahan yang kita alami sebagai tantangan. Boleh semua orang bisa memotret. Namun tidak semua orang bisa bertahan.

Analogi yang sering saya kutip dari Edy Purnomo adalah, walaupun kita semua mampu menulis, tidak semua orang mampu menghasilkan karya sastra. Walaupun semua orang bisa memotret, tidak semua orang otomatis akan menjadi fotografer t-o-p-b-g-t. Iya kan?

Sudah terbukti. Tahun ini kita bergembira karena Kemal Jufri menang Second Prize Stories World Press Photo, sebuah ajang yang sangat prestius di dunia. Seorang Kemal, yang kita tahu sepak terjangnya di dunia fotojurnalistik, bukan seorang newbie yang menganggap fotografi sebagai ‘mainan’.

Ng Swan Ti adalah fotogafer lepas Equator Images dan juga salah satu pendiri komunitas foto “Malang Meeting Point”.

About 1000kata

1000kata adalah portal yang dikelola oleh 10 fotografer Indonesia, sebagai media alternatif untuk menampilkan karya, cerita, ide, opini, gagasan serta yang lainnya berkaitan dengan dunia fotografi. Mari berbagi.

Check Also

Menelusuri Labirin Kotagede

Para pencinta fotografi menikmati kehangatan warga Kotagede. Mereka memasuki ruang-ruang personal dan menjadi bagian dari warga.

14 comments

  1. Thank you with regard to discussing that with all men and women you actually determine what you might be referring to! Book marked. You should likewise consult this site Is equal to). We will have a very hyperlink deal agreement between united states

  2. saya malah justru senang kalau setiap orang bisa memotret dan mau memotret. mungkin saya tidak melihat dari segi bisnis y, tapi dari segi storytelling. bayangkan jika setiap orang di penjara, lokalisasi, anak jalanan, atau orang-orang di tempat yang 'biasanya sulit' dijamah, memotret kehidupannya masing-masing kemudian foto-foto itu dibukukan atau diceritakan kepada orang lain, seperti foto-foto tentang lumpur lapindo di atas.

    thanks buat tulisan ini, mbak swanti 🙂

  3. Sudah benar ending dari tulisan sampai pada:

    "…Atau menganggap perubahan ini sebagai 'kiamat', cemas berlebihan dan kandas?"

    Sisa paragraf lainnya adalah upaya untuk menghibur diri sendiri dan untuk 'The believers' tentu saja. Ya gak Swanti 😉

    Tak lupa, selamat buat Kemal!

  4. Sigid Kurniawan

    membuka mata 😀

  5. artikel yang menarik… makasih buat mbak swanti n seribukata

  6. sumpah salut buat perjuangan temen2 di Porong …

    temen2 yg sebulumnya belum mengenal apa itu ftogrfer skrg mreka mulai berjaya dengan karya foto2nya ..:)

    salut-salaut bwt mbk kaminah, nizar, heru, budi, yanto, sugeng dll..

    mksii jg bwt mz paring yg uda ngenalin quw ma fida ama mreka (anak2 porong).. :))

    slam bwt semua … 🙂 :*

  7. nice posting 🙂

  8. Teman2 penjaga gawang Seribu Kata dan kawan seiring di fotografi, juga semua sahabat, terima kasih banyak. Sudah meluangkan waktu membaca dan komentar. Perhatian2 yang begini niiiihhhhh yang membuat harapan terpelihara dan mampu bertahan di tengah perubahan -salam hangat-

    Budi, Dian dan mas Be, thanksss 🙂

  9. muflikh farid

    artikel yang menarik dengan beberapa foto yang ok.foto pertama dan foto garuda seperti mau digantung sipp banget.

  10. Sebuah artikel yang menarik dan menjelaskan dengan gamblang kekinian fotografi (jurnalistik). Swan, titip salam buat Dyah, saya suka fotonya.

  11. Way to go swan! well described and worth the thought. 🙂 Proud of you! tetap berkarya ya!

  12. Budi N.D. Dharmawan

    Saya suka sekali foto pertama. Artikel yang bagus, mbak Swanti!

  13. Memang, bagi beberapa fotografer yg bekerja sebagai karyawan tetap di media yg mapan tidak terlalu berasa namun bagi para freelancer akan sedikit berbeda. Dan tulisan ini rasanya bisa memberikan perspektif positif yang mampu memompa semangat kita, thanks…

  14. Potret yang lugu dan klasik…

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.