Susanto, Peraih Anugerah Adinegoro 2011

Balita, wanita dan anak laki-laki,.. satu-persatu mereka diambil dari rumah yang terbakar. Kondisi mereka memprihatinkan. Kulit terbakar, melepuh, dan wajah mereka tertutup abu.. -Susanto.

"Evakuasi Merapi", foto karya Susanto/ Media Indonesia yang memenangkan Anugerah Adinegoro 2010 kategori foto jurnalisitik.

Penghargaan Anugerah Adinegoro diberikan setiap tahun oleh Persatuan Wartawan Indonesia untuk memeringati Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari. Tahun ini, 2011, foto berjudul “Evakuasi Merapi” karya pewarta foto Harian Media Indonesia, Susanto, berhasil meraih penghargaan untuk kategori foto jurnalisitik.

Foto “Evakuasi Merapi” menggambarkan proses evakuasi terhadap korban semburan awan panas Gunung Merapi di kawasan Dusun Bronggang, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Yogyakarta. Dusun Bronggang merupakan salah satu dusun yang mengalami kerusakan terparah akibat semburan awan panas tersebut. Sang fotografer, Susanto, menceritakan proses pengambilan foto tersebut kepada Seribu Kata.

Malam itu, Kamis (4/11/2010), saya memutuskan untuk pindah dari Hotel Moro Seneng di daerah Hargobinangun, Sleman, tempat pertama kali saya menginap. Bukan apa-apa, kondisi Merapi saat itu tidak pasti. Suara gemuruh tiap saat menggema, menciptakan getaran di kaca kamar hotel yang kian lama intensitasnya semakin tinggi. Alasan saya untuk pindah semakin kuat karena lantai depan kamar hotel yang selalu jadi andalan saya dan teman-teman untuk memantau puncak Merapi, sudah tidak bermanfaat lagi karena kabut tebal yang menyelimuti puncak Merapi.

Padahal hotel ini dapat dikatakan strategis. Ke tempat pengungsian dekat, turun untuk mengungsi pun dekat. Apa mau dikata, sepertinya sudah saatnya saya pindah lokasi ke tempat yang lebih aman, menjauh dari zona bahaya seperti yang diamanatkan peneliti Vulkanologi Surono alias Mbah Rono.

Bersama seorang rekan, Tri Saputro (Barcroft Media), saya akhirnya turun mencari penginapan lain yang lebih aman. Kami meninggalkan dua rekan kami, Eko Purwanto (Seputar Indonesia) dan Tahta Aidilla (Republika) yang bersikeras untuk tetap tinggal.

Setelah mendapat tempat yang cocok, sekitar tiga kilometer dari tempat semula, saya mengeluarkan semua peralatan dan melakukan ritual mandi yang sempat tertunda selama lebih dari tiga hari. Usai mandi, Tri Saputro atau biasa saya panggil “Gondrong” pamit turun menginap di kota. Saya pun beristirahat.

Jumat (5/11) dinihari, saya terbangun oleh suara berisik. Rupanya itu suara plastik “kresek” hitam di langit-langit kamar yang digunakan untuk menambal plafon yang jebol. Bak suara bass pecah, kresek hitam itu bergetar keras seiring getaran gempa. Suara dan getaran itu membangunkan saya dari tempat tidur dan berusaha mengetahui kondisi di luar. Suara kepanikan penghuni kamar sebelah yang tergesa-gesa ingin mengungsi, serta pekikan klakson kendaraan roda dua dan roda empat yang saling bersahutan, terasa sangat mendominasi .

Hujan kerikil pun turun. Lampu penginapan yang kemudian mati, membuat suasana semakin mencekam. Saya teringat dua teman saya, Eko dan Tahta. Saya lalu mencoba menghubungi mereka. Tahta berhasil saya hubungi. Dia mengabarkan dirinya yang sedang bersiap meninggalkan penginapan.

Bermodal ponsel yang memiliki fasilitas senter di saku celana, saya mencoba menggapai kamera, tas pinggang, tas berisi laptop, helm, jas hujan “ponco” dan kunci bersama motor sewaan. Segera saya mengungsi ke bawah.

Dengan kondisi penglihatan yang terbatas akibat hujan abu dan hujan kerikil bercampur air, saya mencoba mengikuti arah kendaraan di depan. Sesekali saya mengusap kaca helm. Hal itu justru memperparah jarak pandang hingga akhirnya saya berhenti di tenda di pintu gerbang Universitas Islam Indonesia (UII) di daerah Kaliurang yang menjadi posko pertama. Di dalam tenda, saya siapkan semua peralatan. Tak lama, saya akhirnya bertemu dengan dua orang teman seperjuangan yang sempat terpisah.

Tak ingin kehilangan momen, saya mencoba menangkap situasi kepanikan yang terjadi saat itu. Tangisan anak kecil dan perempuan yang berlindung di kendaraan bak terbuka dengan tumpukan debu bercampur air hujan di sekujur tubuh, polisi yang meniup peluit untuk mengatur jalan, serta teriakan pengendara motor yang memaki pengendara di depannya untuk mempercepat laju kendaraan mereka.

Dua mobil bak terbuka berhenti di depan posko. Beberapa orang turun, dan tampak tergesa-gesa masuk ke dalam tenda. Terbersit rasa penasaran, saya pun mendekat. Logat orang-orang itu tak asing bagi saya di antara logat jawa kental yang memenuhi posko. Ternyata mereka adalah relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dari Jakarta. Mereka mencari seseorang yang paham seluk beluk dusun-dusun di sekitar lokasi bencana.

Salah seorang mahasiswa bersedia menjadi penunjuk jalan. Spontan, saya pun naik ke bak belakang salah satu kendaraan tersebut. Saat itu juga mobil dipacu sambil mendengarkan arahan dari si mahasiswa.

Evakuasi Korban

Di tengan hujan abu, mobil melaju kencang menuju lokasi yang dituju. Selang belasan menit, dari kejauhan tampak segumpal awan kemerah-merahan. Saya sempat menanyakan perihal awan itu kepada sang penunjuk jalan. Awalnya ia tidak yakin dengan apa yang saya lihat, namun akhirnya ia berkata kepada supir. “Kalau memang tidak memungkinkan, kita kembali saja…” ujarnya. Namun hal itu ditampik sang supir. Ia menegaskan ada warga yang membutuhkan pertolongan dan tidak akan kembali sebelum menemukan tempat yang dimaksud. Kepulan awan kemerahan itu semakin mendekati kendaraan yang kami naiki.

Awalnya, kami kesulitan mencari Dusun Bronggang, lokasi yang kami tuju. Selain kendala hujan abu pekat yang menghalangi pandangan, ketiadaan orang lain yang kami jumpai cukup menyulitkan. Semua sudah mengungsi, hanya ada dusun-dusun “mati” yang ditinggal penghuninya. Tak putus asa, kamipun akhirnya sampai di tempat tujuan. Awan kemerah-merahan itu tak lain adalah refleksi asap dari terbakarnya belasan rumah di dusun tersebut. Namun, bak kacang rebus, abu panas disertai uapnya menghadang jalan kami.

Kami memutuskan untuk meniti jalan dengan perlahan sembari berteriak dan membunyikan klakson mobil. “Apakah ada orang….??” Teriak beberapa relawan. Tidak sia-sia, kami mendengar teriakan dan rintihan minta tolong yang akhirnya mengarahkan kami ke beberapa rumah di sekitar dusun yang telah hangus terbakar.

Setelah yakin ada korban yang masih selamat, kami mencoba mendekati rumah yang terbakar tempat suara berasal. Hawa panas diselingi bunyi percikan ranting pohon terbakar sesekali terdengar. Baru beberapa langkah, tiba-tiba pondasi atap yang terbuat dari kayu di salah satu rumah ambruk. Segera kami mundur. Kendati saya mengenakan sepatu boot, telapak kaki tetap terasa panas. Bau karet terbakar tercium hidung saya.

Tanpa sadar, saya menginjak abu panas dengan kedalaman melebihi mata kaki. Alas sepatu boot yang saya gunakan di beberapa bagian meleleh sehingga secara refleks saya keluar dari area jalan yang tertutup abu panas ke tepian jalan. Kondisi itu tidak menghalangi niat tulus para relawan. Mereka tetap ngotot engevakuasi korban yang masih bisa ditolong dengan menggunakan alat seadanya. Seorang relawan bernama Anwar membungkus kakinya dengan selimut yang tersedia di bak mobil untuk menghindari panas.

Akhirnya relawan berhasil membawa korban yang selamat dengan meniti tepian jalan. Balita, wanita dan anak laki-laki satu-persatu mereka ambil dari dalam rumah yang terbakar. Kondisi mereka memprihatinkan, kulit terbakar, melepuh dan wajah mereka tertutup abu.

Saat itulah saya mencari tempat yang aman dengan berdiri di tepi jalan. Saya kemudian mencari komposisi yang menurut saya pas dan mulai memotret seluruh proses evakuasi hingga korban ditempatkan di bak belakang mobil.

Awalnya saya sempat kesulitan. Selain karena keterbatasan ruang gerak, kamera yang saya gunakan terlapisi debu akibat hujan abu yang masih terus berlangsung. Mulai dari jendela intip (view finder) tertutup debu, lensa kotor, hingga tombol “SET” yang berfungsi sebagai Life View di bodi kamera macet sehingga tertekan terus yang mengharuskan saya menyalakan dan mematikan (ON-OFF) kamera. Kalau tidak fungsi Life View akan aktif.

Usai evakuasi awal, dikarenakan kapasitas kendaraan yang sudah penuh dengan korban, para relawan pun memutuskan untuk secepatnya membawa para korban ke rumah sakit agar segera mendapat pertolongan. Setibanya di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Dr. Sardjito, relawan dibantu petugas medis membawa masuk para korban. Setelah itu, kendaraan kami kembali ke lokasi semula untuk evakuasi lanjutan.

Dengan alasan sudah mendapatkan gambar aman, kondisi lokasi yang berbahaya dan tidak ingin mati konyol, saya kemudian memutuskan untuk tidak ikut ke dusun tersebut. Saya dan mahasiswa penunjuk jalan meminta diturunkan di posko UII tempat pertemuan awal kami. Dari sana kami pun berpisah. Relawan melakukan evakuasi, mahasiswa sang penunjuk jalan kembal ke posko, dan saya pun melanjutkan kewajiban untuk mengirim gambar. (Susanto)

***

Evakuasi Warga, Sleman (Foto: Susanto)

Tentang Susanto:

Lahir dan besar di Jakarta. Sempat mengenyam pendidikan jurnalistik di Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara (LPJA) dan mengikuti workshop Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) kelas Jurnalistik serta menyelenggarakan pameran bersama “Glossarium” di Galeri Antara.

Setelah lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. DR. Moestopo (B), Ia bekerja di harian Rakyat Merdeka sebagai wartawan tulis selama tiga tahun. Dan sejak 2008 Ia melanjutkan kariernya ke harian Media Indonesia sebagai foto jurnalis hingga saat ini.

Selain pameran foto Glossarium, Ia juga sempat beberapa kali berpartisipasi dalam pameran foto sekaligus penggalangan dana bencana Merapi, Jakarta Photo Summit, Gerah Gairah Jakarta 2010. Baru-baru ini Ia menerima penghargaan Anugerah Adinegoro 2010 kategori foto jurnalistik terbaik.

Menembus Hujan Abu, Magelang (Foto: Susanto)

Apa arti penghargaan Adinegoro buat Anda?

Tak dapat dipungkiri, Anugerah Adinegoro adalah salah satu penghargaan bergengsi bagi jurnalis baik jurnalis foto maupun jurnalis tulis disamping Mochtar Lubis dan Adiwarta. Saya bersyukur sekaligus tidak percaya akhirnya saya bisa merasakan penghargaan tersebut, kendati agak ironi jika mengingat anugerah yang saya peroleh berasal dari peristiwa bencana yang penuh dengan tangisan dan kehilangan keluarga dan kerabat.

Saat memutuskan untuk mengambil foto tersebut, mana yang lebih cocok untuk menggambarkan keputusan Anda: nekat, spekulasi, atau benar- benar direncanakan dengan matang?

Mungkin unsur spekulasi dan nekat atau boleh dibilang kepalang tanggung yang lebih cocok menggambarkannya. Karena saat itu saya tidak tahu secara pasti kondisi sebenarnya di lokasi. Kemudian, keputusan “kepalang tanggung” itu berlaku pada saat berada di bak mobil dan tiba di lokasi. Untuk mengurungkan niat sepertinya tidak mungkin, apa yang ada di lapangan baik-buruknya kita harus kerjakan.

Hadiah uang dari Anugerah Adinegoro, yaitu uang sebesar Rp 50 juta cukup besar. Akan Anda pergunakan untuk apa uang tersebut?

Insyaallah, hadiah uang tersebut sebagian akan saya sisihkan untuk membantu korban-korban lain baik di Merapi maupun lokasi bencana yang saat ini membutuhkan pertolongan dan bantuan melalui Aksi Cepat Tanggap (ACT). Berdasar informasi yang saya peroleh, mereka masih membutuhkan bantuan pemulihan pasca bencana. Saya sadar rezeki itu bukan milik saya saja, tapi juga milik mereka yang masih membutuhkan uluran tangan.

Mengapa anda tertarik menjadi jurnalis foto?

Merasakan hal yang berbeda tiap hari atau bahkan di setiap penugasan adalah salah satu alasan saya menyukai pekerjaan sebagai seorang foto jurnalis. “Expected the Un Expected”, kalimat itu yang mungkin bisa mewakili ketertarikan saya. Namun, hal yang paling membuat saya tertarik menjadi seorang foto jurnalis adalah kita bisa membuat perubahan, dalam arti foto yang kita hasilkan bisa memberikan efek luas dengan merubah sudut pandang seseorang maupun masyarakat.

Selama bekerja di media, pengalaman apa yang paling berkesan buat Anda?

Sampai saat ini, pengalaman liputan bencana Merapi adalah yang paling berkesan buat saya. Perasaan berdebar, ketegangan, kecemasan saat peluit relawan berbunyi yang memaksa kita untuk lari sekencang-kencangnya untuk menyelamatkan nyawa semata wayang ini sekaligus kelegaan saat kita mampu melewatinya. Entah esok hari. Yang pasti saya akan selalu menunggu pengalaman berkesan apa lagi yang akan saya alami nanti.

Siapa fotografer favorit Anda?

Beawiharta (Reuters) adalah salah satu foto jurnalis asli Indonesia favorit saya. Memikirkan yang tidak terpikirkan, selalu memberikan inspirasi dan wawasan baru.

Pemakaman Massal, Sleman (Foto: Susanto)

About 1000kata

1000kata adalah portal yang dikelola oleh 10 fotografer Indonesia, sebagai media alternatif untuk menampilkan karya, cerita, ide, opini, gagasan serta yang lainnya berkaitan dengan dunia fotografi. Mari berbagi.

Check Also

Pemenang Regional World Press Photo Contest 2024 

World Press Photo hari ini (3/4/2024) mengumumkan para pemenang regional Kontes 2024, yang menampilkan pilihan …

18 comments

  1. Anda layak dapat penghargaan

    kalau mau downloads cari film letusam merapi dari th 1786, 1822, 1872, 1930, 2006, dan 2010 diman mana Bung?

  2. foto-fotonya memang dahsyat, layak juara.
    salut sama kegigihannya menembus medan.

  3. selamat bro,..namba mas bea,..foto merapi mas bea juga keren ada petir diantara awan panas,..

  4. Keren om santo…maju terusss

  5. ada 2 foto yang melekat di mata seusia memotret di Merapi buat saya, foto ini, pemenang Adinegoro, dan foto Kompas, ibu bapa nangis dengan debu di seluruh tubuhnya.
    Selamat ya buat Santo

  6. donny a leonardi

    mantap.. mantap.. santo is good 🙂

  7. Top, keren , two thumbs upa , luar biasa, maju terus!!

  8. mantab bro… salut….

  9. selamat bro..berada di sebuah kejadian yang mungkin tidak akan ditemui lagi…setidaknya untuk seratus tahun yang akan datang…penghargaan yang diberikan setimpal dengan pengorbanan yang anda berikan…….sukses

  10. Selamat Mas Susanto !
    Foto Merapi dan pengalaman meliput merapi Mas Susanto menyentuh dan hebat.

  11. very impressive…….awesome !!….selamat bung santo

  12. Selamat buat Santo, well done!

  13. widodo s jusuf

    Cerita dibalik layar yg menakjubkan … Selamat buat Susanto… Sukses lanjut…bravo Seribukata

  14. kisah yang menarik… semoga saya dapat pengalaman yang sama suatu saat nanti

  15. Su-san-to : suka sangat foto2 merapinya….. Gak bisa berkomen..awesome!!!

  16. Mantap.. dan selamat buat Susanto. Maju dan sukses selalu….

  17. Terimakasih sudah berbagi

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.