Pintar Memotret atau Cerdas Memotret?

Padang’s earthquake, October 3, 2009.

 

Sering dalam sebuah pembicaraan dengan orang yang senang atau baru belajar fotografi saya dihujani pertanyaan, bagaimana membuat foto silluet? Bagaimana membuat effect lembut dalam air? Sebenarnya wajar sekali mereka bertanya sesuai dengan keingintahuan mereka yang kuat bagaimana menghasilkan sebuah foto.

Seiring berkembangnya digital fotografi di dunia, dan perangkat lainnya yang tidak kalah pintarnya menghasilkan karya fotografi, tidak hanya dihasilkan oleh sebuah kamera dengan lensanya tetapi merambah ke perangkat lain non kamera konvensional. Banyak sekarang kita mengenal smartphone dengan kameranya, tablet PC, iPad yang dilengkapi alat untuk memuaskan pemakainya untuk berfotografi ria. Sungguh revolusi yang luar biasa dalam bidang fotografi, fotografi tidak hanya dikuasai oleh para profesional, namun setiap orang sekarang menjadi pintar memotret. “Fotografi menjadi sangat demokratis”, saya kutip dari obrolan dengan Seno Gumira Adjidarma.

Berbarengan dengan revolusi fotografi digital, bisnis fotografipun semakin merebak. Kalau jaman fotografi analog kita hanya tahu beberapa merek produsen kamera, namun jangan tanya berapa banyak jumlah produsen kamera sekarang. Industri yang biasa membuat mesin cucipun, tiba-tiba berubah haluan mengikuti booming yang terjadi di dunia, saling berebut pasar membuat alat perekam foto dan video, dalam berbagai bentuk.

Dengan makin mudahnya masyarakat mengakses alat fotografi, maka sekarang bermunculanlah club-club atau penggemar fotografi. Saya tidak bisa sebut satu persatu, karena cukup banyak masyarakat yang membuat kelompok penggemar, penggiat, atau kelompok jalan-jalan, baik female atau male fotografer, masing-masing menandakan keberadaan dan eksistensinya lewat fotografi. Bermunculanlah lomba-lomba fotografi dengan hadiah yang sangat menggiurkan, yang tentunya akan semakin mengokohkan fotografi di mata publik. Selain itu muncul pula workshops, seminar sehari atau berhari-hari tentang fotografi. Fotografi telah menjadi raja pada abad ini.

Reflection

Tiba-tiba saya saya ingat akan pertanyaan-pertanyaan tadi, bagaimana membuat foto ini dan itu, serta triksnya? Hampir jarang orang yang menanyakan mengapa saya tertarik memotret dan mengapa saya harus memotret? Pertanyaan inilah yang selalu menghantui pikiran saya dengan kondisi fotografi di Indonesia akhir-akhir ini dengan kemanjaan dan kemudahan berfotografi. Cukup banyak karya foto yang dihasilkan dan beredar di segala macam medium output-nya, dan saya melihat masyarakat fotografi Indonesia cukup pintar memotret seperti trend apa yang berkembang di dunia. Ribuan karyapun terhasilkan, bahkan nyaris saya tidak bisa membedakan siapa yang memotret. Foto-foto banyak dihasilkan di tempat yang sama, angle yang sama, peristiwa yang sama, waktulah yang menjadi pembeda, itu kalau dilihat dari metadatanya.

Kalau boleh saya berkata, subyek fotografi tidak banyak berubah bahkan nyaris sama. Teknologi digital yang canggih dipaksa untuk kembali kemampuannya seperti layaknya kamera analog, memang tidak salah, tetapi ada satu hal yang hilang dalam kancah fotografi Indonesia. Saya merasakan ada kehilangan di kecerdasan memotret, kalau kita bandingkan secara terminologis, pintar adalah bermakna, pandai, cakap, mahir melakukan atau mengerjakan sesuatu. Kemudian saya coba memaknai kata cerdas yang berarti: sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti), tajam pikiran (dari kamus besar Bahasa Indonesia). Masyarakat fotografi berlomba-lomba untuk membuat foto yang pernah ada dengan pendekatan yang tidak jauh beda. Maka tidak mengherankan dalam sebuah acara festival budaya kita akan menemui ratusan fotografer berjubel di tempat yang sama, bahkan dengan lensa yang nyaris sama.

 

Bagi saya fotografi adalah sebuah kenikmatan, perayaan dan perubahan. Mungkin bisa ditanyakan kepada setiap orang yang menjempretkan rananya, ada orgasme tersendiri ketika tangan memencet tombol shutter. Sebuah pengalaman personal yang pasti berbeda masing-masing individu kapan saat-saat mengalami orgasme itu berlangsung. Tiba-tiba saya jadi terhenyak dan bertanya-tanya, apakah ini arti demokrasi fotografi?

Kembali kepada kata pintar yang sering dikaitkan dengan ketrampilan, saya tidak meragukan kemampuan masyarakat fotografi Indonesia tentang ketrampilan berfotografi, apapun yang trend dan berkembang, masyarakat fotografi akan membuatnya yang nyaris sempurna bahkan lebih baik. Namun, kalau ditilik kata cerdas, yang lebih mengacu kepada kreatifitas, menguasai persoalan dan mencari solusinya, masyarakat fotografi di Indonesia masih kelihatan tergagap-gagap.

Saya jadi teringat pembukaan UUD 1945 yang salah satunya ayatnya berbunyi “…mencerdaskan kehidupan bangsa” alangkah indahnya bila fotografi yang yang sudah menjadi milik publik, bisa sebagai alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga.

Anda mempunyai pendapat atau opini yang lain, mari kita saling berbagi….

 

 

Tulisan dan foto oleh Edy Purnomo, Fotografer Equator Images dan Pengajar di Panna Institute of Photography.

 

About 1000kata

1000kata adalah portal yang dikelola oleh 10 fotografer Indonesia, sebagai media alternatif untuk menampilkan karya, cerita, ide, opini, gagasan serta yang lainnya berkaitan dengan dunia fotografi. Mari berbagi.

Check Also

Romantisme Paris van Java yang Abadi

Bandung sebagai pelabuhan terakhir dari rangkaian Photowalk dan Photography Workshop.

20 comments

  1. Mencerahkan! “Orgasme berFotografi” istilah yg cocok untuk sebuah perjalan proses belajar fotografi

  2. Buat saya ini fenomena baru yang harus disambut positif oleh siapapun, termasuk kalangan fotografer profesional. Bayangkan, dengan adanya smartphone, kesadaran masyarakat tentang bermedia-foto 'naik seribu persen'. Lengkap pula dengan segala penajaman aspek di dalamnya. Ada yang antusias menjadi bagian dari jurnalisme publik, ada yg suka berekspresi dengan obyek simbol2 dan fine art, atau yang sekadar suka membuat dokumentasi dan foto-foto narsistis.

    Bahwa, para newbie itu belum menguasai teori, atau baru setengah matang, itu wajar saja. Namanya juga hobiis. Saya pribadi memilih bersikap wellcome, mengapresiasi karya-karya dari "orang-orang yang masih segar", dan menjadikan mereka teman-teman baru berfotografi.

    Menilai mereka dengan ukuran ideal rasanya kurang fair, kawan. Mereka tidak lebih sebuah fenomena positif di era digital dan sosial media. Mereka tidak menghianati idealisme kekaryaan, atau mengancam kemajuan fotografi Indonesia. Sebaliknya, mereka juga kekayaan dunia fotografi.

    (Btw, Ini terjadi juga di dunia musik. Bahkan, banyak orang bilang kualitas musik indie lebih bagus dari produk mainstream. Jadi, bagus juga fenomena foto hobiis ini dijadikan dorongan semangat berkarya fotografer pro)

    Salam buat Edy Purnomo, Eddy Hasby…

  3. Robby Fakhriannur

    “ada orgasme tersendiri
    ketika tangan memencet tombol shutter”
    Setuju banget Mas Edy.

    Btw, itu foto yg pakai topi koboi saya suka banget. “Sesuatu” banget… 🙂

  4. Yang di air sangat keren mas awa, saya pikir itu cerdas mas.. keren sangat….

  5. Fotografi buat saya lebih seperti pacar kedua. Yang selalu menghibur hati saya di mana pun dan kapan pun. Dan mari berfotografi dengan CERDAS. Bukan masalah apa gear yang dipakai tapi kepuasan hati yang timbul saat kita memotret dan memandang hasil potretan kita. 🙂

  6. Fotografi….ada yg menggunakannya utk bisnis tapi banyak pula yg untuk hobi dan senang2,ada yg karena mengikuti trend…silahkan anda memilih sendiri2,silahkan mereka berfotografi ria..yg berkantong tebal silahkan membeli alat yg canggih…yg pas2an seperti saya cukup alat apa adanya saja(karena saya bukan fotografer tapi mencintai fotografi)…yg jelas bagi saya pribadi foto bisa berbicara…bisa menghibur…dan bisa bercerita kepada anak cucu kita pada saat kita sudah tiada

    Salut kepada Mas Edy Purnomo yg dgn tulisannya menyadarkan kita semua…Apa tujuan kita sebenarnya MEMOTRET????

  7. pencerahan yang luar biasa mas edpur…….perenungan semua yang merasa pintar berfotografi….SALUTTT

  8. teman-teman nubie yang ada sekarang kebanyakan orientasi alat..alat..dan alat..jadi pengetahuan terbatas pada foto bagus dibuat dengan alat bagus..coba masuk ke web komunitas foto yang rame ya diskusi tentang alat. kalau pun ada yang sampe keliling indonesia buat hunting acara2 budaya ya senior2 saja..tapi lama kelamaan masyarakat juga bisa membedakan kok yang mana foto yang dihasilkan dari fotografer yang cerdas

  9. keren dab… wkwkwkwk banyak orang pintar… tapi sedikit yang cerdas

  10. Ijin copas,…..saya setuju dengan “Orgasme”!!!

  11. Setuju mas Edy…memotret bukan dengan kamera tapi otak mata dan hati… ~ alm. Mat Kodak (Ed Zoelverdi)

  12. sepakat om, sekarang mah kalo type kameraxa bukan 2 digit ato satu, susah memberi masukan dan saran, dari lensa kita melihat, kalo di indonesia photography bukan lagi sebuah" skill "dan" cita rasa seni, melainkan sebuah lifestyle……. oh tuhan gaya hidup itu mulai menjangkiti warga negara ini……………..

  13. Buat Seribukata.com crew , thanks udah mempublish tulisan says, juga teman-teman yang membaca dan berkomen. Mari …..menuju "ORGASME berFOTOGRAFI"

  14. Kalau ada kalimat ketiga tambahan "cerdas menjual" , sy pilih cerdas menjual foto, karena foto di Indonesia masih didominasi hobies bukan industri

  15. go edpur go!!!

  16. cuma mau komen satu kalimat aja mas "CONTENT IS THE KING"

  17. bariparamarta

    Mencerahkan mas Edy, terima kasih sudah rela mengajak berolah pikir soal "mengapa" berfotografi.

    *) Izin menyebarluaskan linknya.

  18. hardisubiantoro

    ijin copas mas bersama linknya….

  19. Bagi saya memotret adalah masalah kepuasan bathin, terasa sperti melepas kepenatan dan merasa puas saat mndapatkn hasil foto yg bagus.
    Menurut saya, memotret tak hanya bisa mengoperasikan alatnya atau dengan teknik2 yg mumpuni atau dengan alat yg terbaru nan canggih, lbh drpda itu, memotret adlh sbuah kegiatan yg karyanya bisa dinikmati org lain karena dibuat dengan estetika, perasaan, dan ketulusan.
    Salam.

Leave a Reply to rudy Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.