Buku Foto “KUNING”, karya Naztia Haryanti

Buku Foto “KUNING”, karya Naztia Haryanti.

Oleh: Ridhwan Siregar

“Tak ada yang tau,

Dulu aku membencimu

Aku malu melihat kondisimu

Malu melihat tatapan orang-orang.

Tapi itu dulu.”

Karya visual bertema keluarga selalu menarik perhatian saya, apalagi yang mengangkat tentang relasi antara ayah dan anaknya. Tema yang juga saya tampilkan dalam buku foto yang sebelumnya saya buat. Sepertinya bukan kebetulan, ketika saya kemudian diminta ikut sharing di Gueari Galeri, Pasar Santa, Sabtu (10/2) lalu, dalam disuksi buku “Kuning” karya Naztia Haryanti, biasa dipanggil Nanas.

“Kuning” merupakan sebuah karya yang menggali ketakutan Nanas tentang pandangan orang mengenai sosok ayahnya. Sebuah karya berani, yang melampaui usia pembuatnya, mengingat Nanas masih duduk di bangku SMK Sumbangsih. Sebuah karya yang beberapa bulan sebelumnya sempat saya lihat draft bukunya. Sebuah karya yang memang sudah saya nantikan.

Buku ini memiliki konten yang kaya dan playful, dibalut dengan sentuhan personal yang sangat kental. Nanas memadu padankan antara foto, gambar, dan tulisan tangannya yang cenderung jahil dan nakal, mengingatkan akan masa-masa saat sekolah dulu. Di periode yang sama, yaitu SMA, Nanas sudah menelurkan karya, sementara pada masa itu, sepertinya saya masih sibuk nongkrong dan pacaran, hehe..

Menikmati “Kuning”, saya terpaku dengan isi tulisan-tulisan tangan yang disajikan. Namun semakin jauh saya membuka halaman-demi halaman, saya bisa merasakan kegelisahan Nanas. Selama ini ia menutupi cerita tentang almarhum Ayahnya, yang pemakai narkoba dan terjangkit virus HIV. Bukan hanya dikemukakannya, kali ini cerita itu bahkan dia rayakan. Kelucuan sekaligus kesedihan sukses diramu Nanas.

Meski sederhana, namun imaji yang ditampilkan kuat, spontan, juga penuh kejutan. Ditambah lagi, isi buku banyak dikerjakan hand-made. Anas menambahkan coretan dan tempelan di foto-foto yang ia eksekusi dengan smartphone. Gambar-gambar memorabilia dalam “Kuning” yang disajikan, seperti ijazah, dan berbagai properti tentang ayahnya, kuat menghadirkan identitas sang Ayah, meskipun gambar dan nama ayahnya dalam buku tersebut disembunyikan. Ditambah lagi ia juga sertakan hasil wawancaranya dengan orang-orang dekat ayahnya, sebagai menu penutup.

Desain “Kuning” yang tidak biasa, juga seakan menterjemahkan “kenakalan” yang dikisahkan, memanggil memori akan kebandelan yang pernah saya lakukan saat masih berseragam putih abu-abu.Tempelan-tempelan isolasi yang menutupi beberapa visual dalam buku, halaman yang sengaja dirobek, coretan spidol, dan mungkin pensil warna atau krayon, membuat karya personal Nanas berbeda dengan sejumlah buku foto lainnya. Kemunculan “Kuning” menambah segar geliat buku foto Indonesia yang banyak muncul beberapa tahun belakangan.

Sampul buku dengan tumpukan tempelan isolasi tak beraturan, membuat sampulnya pun menjadi catchy, saat bersanding dengan buku lain. Kreasi tersebut, menjadikan buku yang baru dicetak 30 eksemplar ini, spesial. Setiap buku jadi mempunyai detail yang tidak sama. Menjadi keberhasilan Gueari Galeri, sebuah galeri yang memang fokus dalam pengembangan buku foto Indonesia, memperkaya portofolio buku-buku terbitannya.

Usai acara diskusi, saya dapat melihat Anas menuju merdeka sepenuhnya dari ketakutan yang dulu disimpannya rapat. Absennya figur ayah di masa remaja tentu merupakan hal yang berat. Namun melalui buku dan pameran, Nanas mampu membalikkan hal negatif, dan menjadikannya positif, bahkan produktif. Lewat “Kuning”, Nanas mempertegas lirik lagu Michael Bolton “Fathers and daughters never say goodbye”, yang sayup-sayup terus mengalun dari ruang pamer.


 

Ridhwan Siregar adalah fotografer Indonesia yang memiliki ketertarikan pada aspek manusia dari isu-isu politik, sosial dan budaya, juga lingkungan. Pernah bekerja untuk sejumlah media, tahun 2010 Ridhwan mumutuskan bekerja freelance, mengerjakan proyek fotografi, audio visual, juga menulis. Karyanya telah dipublikasikan di berbagai surat kabar dan majalah Indonesia. Usai mengikuti program fotografi di International Center of Photography di New York, Ridhwan mendirikan IDOEP, perusahaan creative house, yang sering terlibat dalam proyek semi-dokumenter dengan sejumlah NGO internasional. Di tahun 2017, Ridhwan menerbitkan buku foto, yang diawali dengan pameran tunggal pertamanya “(Mencari) Amang”. Ia juga telah berpartisipasi dalam sejumlah pameran, termasuk di New York. Karya Ridhwan bisa dilihat di ridhwansiregar.com, Instagram & twitter: @iwanregar.

 

About Mast Irham

Mast Irham has been doing photography since he was a student at Communication Study at Sebelas Maret University in Solo, Central Java. Before he finished his undergraduate study, he had joined Antara news agency as a contributing photographer. After graduation, he worked for Media Indonesia newspaper until 2004, when he was chosen as one of the participants of photojournalism workshop organized by World Press Photo and Asia Europe Foundation in Hanoi, Vietnam. He later joined European Pressphoto Agency (EPA) in August 2004. During the more than 10 years of his career, Irham has been covering politics, economy, disaster, and sport events both in Indonesia and abroad. Among his notable experience were covering earthquake and tsunami in Aceh, and Bali bombing. His foreign assignments include Aung San Suu Kyii release in Myanmar, Australian Open tennis tournament in Melbourne, Australia, and earthquake in Nepal, Brazil's World Cup. Irham is now EPA chief photographer for Indonesia.

Check Also

Menelusuri Labirin Kotagede

Para pencinta fotografi menikmati kehangatan warga Kotagede. Mereka memasuki ruang-ruang personal dan menjadi bagian dari warga.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.